Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Homo Sociologicus di Era Amica Machina

26 Desember 2024   23:05 Diperbarui: 27 Desember 2024   01:23 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi AI dan Manusia (KOMPAS.ID)

Mari kita mulai dengan sebuah pertanyaan yang mungkin terlintas di benak kita: Apa artinya menjadi manusia di era digital ini? 

Dalam konteks, kita berbicara tentang manusia sebagai Homo Sociologicus, manusia sebagai makhluk sosial yang terikat dalam jaringan interaksi yang kompleks dengan sesamanya. 

Namun saat ini, kita melihat munculnya Amica Machina, atau teman mesin, yang mulai mengambil alih peran sebagai teman curhat, yang seharusnya diisi oleh manusia. 

Di satu sisi, ada keuntungan yang jelas dari keberadaan AI sebagai teman curhat. 

Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan ini, banyak orang merasa kesepian dan terasing. AI menawarkan solusi instan, memberikan ruang bagi individu untuk berbagi pikiran dan perasaan tanpa takut dihakimi.

Dalam hal ini, kita bisa merujuk pada pemikiran Sherry Turkle, seorang sosiolog dan psikolog. Dalam pemaparan Ted Talk-nya yang menekankan bahwa teknologi dapat memberikan kenyamanan emosional. Dia berargumen bahwa AI dapat menjadi pendengar yang baik, yang selalu siap sedia, dan ini bisa sangat membantu bagi mereka yang merasa terisolasi.

Namun, di balik kenyamanan ini, ada kerugian yang tidak bisa kita abaikan. Ketika kita mulai mengandalkan AI untuk berbagi rahasia dan kekhawatiran, kita mungkin kehilangan kemampuan untuk berinteraksi mendalam dengan sesama manusia.

Martin Heidegger, seorang filsuf yang terkenal dengan pemikirannya tentang teknologi. Dalam buku "The Question Concerning Technology and Other Essays", Heidegger memperingatkan bahwa teknologi dapat mengalienasi kita dari pengalaman manusia yang otentik. 

Dalam konteks ini, kita harus bertanya, apakah kita sedang mengorbankan kedalaman hubungan manusia demi kenyamanan yang ditawarkan oleh mesin?

Lebih jauh lagi, kita harus mempertimbangkan dampak jangka panjang dari interaksi ini terhadap perkembangan sosial dan emosional kita. 

Ketika anak-anak tumbuh dengan AI sebagai teman curhat, mereka mungkin kehilangan kesempatan untuk belajar keterampilan sosial yang penting.

Emmanuel Levinas, seorang filsuf yang menekankan etika hubungan antar manusia, berargumen dalam bukunya "Totality and Infinity: An Essay on Exteriority", bahwa pertemuan dengan orang lain adalah inti dari pengalaman manusia. Jika kita menggantikan pertemuan ini dengan interaksi dengan mesin, kita mungkin kehilangan esensi dari apa yang membuat kita manusia.

Di sisi lain, ada juga argumen bahwa AI dapat membantu kita memahami diri kita sendiri dengan lebih baik. 

Dengan berbicara kepada mesin, kita mungkin lebih terbuka untuk mengeksplorasi perasaan kita tanpa rasa takut. Ini bisa menjadi alat yang berguna untuk refleksi diri.

Namun, kita harus bertanya, apakah refleksi yang dihasilkan dari interaksi dengan mesin sama berartinya dengan refleksi yang dihasilkan dari interaksi dengan manusia?

Søren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis, menekankan pentingnya ketulusan dalam hubungan manusia. Apakah kita bisa mendapatkan ketulusan itu dari sebuah algoritma?

Ketika kita merenungkan semua ini, kita dihadapkan pada dilema. 

Di satu sisi, Amica Machina menawarkan kenyamanan dan aksesibilitas yang tidak bisa kita abaikan. 

Di sisi lain, kita harus mempertimbangkan apa yang kita korbankan dalam prosesnya. 

Apakah kita siap untuk menerima kenyataan bahwa hubungan kita dengan sesama manusia mungkin semakin dangkal? Atau apakah kita akan berjuang untuk mempertahankan kedalaman dan keaslian dalam interaksi kita?

---

Ketika saya melihat anak-anak bermain dengan gadget mereka, hati dan pikiran saya bercampur aduk. 

Di satu sisi, saya merasa excited membayangkan seberapa canggih teknologi yang ada di genggaman mereka saat ini dan di masa depan. 

Namun, di sisi lain, hati saya merasa kasihan. Apakah mereka akan mengenal kedalaman persahabatan yang pernah kita alami, seperti yang dirasakan oleh generasi kita dan orang tua kita? 

Saya khawatir dengan masa depan, ketika Amica Machina menjadi teman curhat yang lebih sempurna. Anak cucu kita mungkin tumbuh dalam keterasingan, kehilangan kesempatan untuk merasakan kehangatan interaksi manusia yang otentik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun