Emmanuel Levinas, seorang filsuf yang menekankan etika hubungan antar manusia, berargumen dalam bukunya "Totality and Infinity: An Essay on Exteriority", bahwa pertemuan dengan orang lain adalah inti dari pengalaman manusia. Jika kita menggantikan pertemuan ini dengan interaksi dengan mesin, kita mungkin kehilangan esensi dari apa yang membuat kita manusia.
Di sisi lain, ada juga argumen bahwa AI dapat membantu kita memahami diri kita sendiri dengan lebih baik.Â
Dengan berbicara kepada mesin, kita mungkin lebih terbuka untuk mengeksplorasi perasaan kita tanpa rasa takut. Ini bisa menjadi alat yang berguna untuk refleksi diri.
Namun, kita harus bertanya, apakah refleksi yang dihasilkan dari interaksi dengan mesin sama berartinya dengan refleksi yang dihasilkan dari interaksi dengan manusia?
Søren Kierkegaard, seorang filsuf eksistensialis, menekankan pentingnya ketulusan dalam hubungan manusia. Apakah kita bisa mendapatkan ketulusan itu dari sebuah algoritma?
Ketika kita merenungkan semua ini, kita dihadapkan pada dilema.Â
Di satu sisi, Amica Machina menawarkan kenyamanan dan aksesibilitas yang tidak bisa kita abaikan.Â
Di sisi lain, kita harus mempertimbangkan apa yang kita korbankan dalam prosesnya.Â
Apakah kita siap untuk menerima kenyataan bahwa hubungan kita dengan sesama manusia mungkin semakin dangkal? Atau apakah kita akan berjuang untuk mempertahankan kedalaman dan keaslian dalam interaksi kita?
---
Ketika saya melihat anak-anak bermain dengan gadget mereka, hati dan pikiran saya bercampur aduk.Â