Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Makassar Pilihan

Tinjauan Kritis Potensi Slow Living di Makassar

23 Desember 2024   20:37 Diperbarui: 23 Desember 2024   20:37 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Mandala atau Monumen Pembebasan Irian Barat di Makassar(disbudpar.sulselprov.go.id) 

Menelisik potensi dan tantangan penerapan gaya hidup slow living di tengah dinamika Kota Makassar. 

Kehidupan modern saat ini menuntut serba cepat. Rutinitas harian diwarnai kemacetan di pagi hari, tumpukan pekerjaan hingga larut malam, bahkan akhir pekan pun dipenuhi agenda padat. Di tengah kesibukan ini, muncullah tren slow living, sebuah konsep yang mengajak individu untuk menikmati setiap momen, mereduksi stres, dan menjalani hidup dengan lebih bermakna. 

Slow living bukan berarti bermalas-malasan atau menghindar dari pekerjaan, melainkan tentang menghargai waktu, menikmati proses, serta membangun koneksi mendalam dengan diri sendiri, sesama manusia, dan lingkungan. 

Konsep ini menekankan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta apresiasi pada hal-hal sederhana yang sering terabaikan dalam rutinitas. 

Sebagai kota metropolitan yang berkembang di bagian timur Indonesia, Makassar memiliki dinamika tersendiri. Oleh karena itu, penting untuk menganalisis keselarasan dinamika perkotaan Makassar dengan prinsip-prinsip slow living.

Menimbang Potensi dan Tantangan Slow Living di Makassar

Setelah menelaah berbagai aspek, terlihat bahwa Makassar memiliki potensi untuk mengadopsi gaya hidup slow living, meskipun terdapat sejumlah kekurangan yang perlu diatasi. 

Biaya Hidup: Rintangan Utama Penerapan Slow Living

Stabilitas finansial merupakan fondasi krusial bagi penerapan slow living. Sulit membayangkan hidup tenang di tengah himpitan masalah keuangan. 

Berdasarkan data Survei Biaya Hidup (SBH) 2022 yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 12 Desember 2023, biaya hidup bulanan di Makassar mencapai Rp 11.504.942. (Detik.com, Kompas.com, CNBCindonesia.com). 

Informasi ini menempatkan Makassar pada urutan kelima sebagai kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia.

Lebih lanjut, sumber-sumber tersebut juga menginformasikan rata-rata pengeluaran per kapita di Makassar sebesar Rp 3.253.338, sedangkan rata-rata pengeluaran rumah tangga menyentuh angka Rp 14.640.022. 

Tingginya biaya hidup ini jelas menjadi penghalang signifikan bagi penerapan slow living. 

Pertanyaan yang muncul, bagaimana seseorang dapat menikmati hidup dengan santai dan tenang jika tuntutan ekonomi memaksa untuk bekerja keras, bahkan lembur, demi memenuhi kebutuhan dasar? 

Kondisi ini bertentangan dengan prinsip slow living yang menekankan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal.

Kualitas Lingkungan: Potensi dan Permasalahan yang Perlu Diperhatikan

Monumen Mandala atau Monumen Pembebasan Irian Barat di Makassar(disbudpar.sulselprov.go.id) 
Monumen Mandala atau Monumen Pembebasan Irian Barat di Makassar(disbudpar.sulselprov.go.id) 
Lingkungan yang sehat dan nyaman memegang peranan penting dalam mendukung gaya hidup slow living. 

Kualitas udara yang baik, ketersediaan ruang hijau yang memadai, dan tingkat polusi suara yang rendah berkontribusi signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental. 

Berdasarkan data kualitas udara yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019, konsentrasi rata-rata harian di Makassar tercatat sebesar 37,66 µg/m3. (Ditppu.menlhk.go.id). 

Walaupun data ini berasal dari tahun 2019, angka 37,66 µg/m3 menunjukkan konsentrasi partikel yang cukup tinggi di udara Makassar. 

Meskipun masih di bawah baku mutu nasional, angka ini jauh melebihi panduan WHO dan mengindikasikan adanya potensi risiko kesehatan bagi masyarakat.

Selain kualitas udara, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga menjadi isu penting. 

Data yang dipublikasikan menunjukkan bahwa persentase RTH di Makassar pada akhir tahun 2023 baru mencapai 11,47%, angka ini masih jauh di bawah standar ideal yaitu 30%. (Bisnis.com). 

Permasalahan lingkungan di Makassar semakin kompleks dengan adanya isu pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas tambang pasir laut yang digunakan untuk proyek reklamasi. 

Seperti yang diberitakan oleh BBC News Indonesia. Oleh karena itu, keterbatasan RTH dan isu pencemaran lingkungan yang ada dapat menjadi penghambat dalam penerapan konsep slow living di Makassar.

Infrastruktur Pendukung: Fokus pada Pembenahan Transportasi Publik

Ilustrasi transportasi dan lalu lintas di Makassar (Foto: Rasmilawanti/detikcom) 
Ilustrasi transportasi dan lalu lintas di Makassar (Foto: Rasmilawanti/detikcom) 
Infrastruktur yang memadai, terutama sistem transportasi publik yang efisien dan terintegrasi, memegang peranan krusial dalam mendukung mobilitas yang nyaman serta mengurangi stres, aspek penting dalam slow living. 

Informasi dari Dinas Perhubungan Kota Makassar, Detik Sulsel, dan Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa Makassar menyediakan beberapa opsi transportasi publik, antara lain Trans Mamminasata (Teman Bus), Pete-pete (angkutan kota), becak, dan bentor (becak motor). 

Meskipun demikian, cakupan rute dan frekuensi Trans Mamminasata masih terbatas, dan belum terdapat sistem integrasi yang optimal antar berbagai moda transportasi yang ada. 

Kondisi ini tentu menjadi kendala bagi penerapan slow living yang menekankan kemudahan dan efisiensi dalam beraktivitas sehari-hari.

Selain keterbatasan integrasi dan cakupan transportasi publik, permasalahan lain seperti kemacetan yang kerap terjadi pada jam sibuk, biaya parkir yang mahal di beberapa titik, serta keberadaan "pak ogah" yang terkadang menimbulkan keresahan, turut memengaruhi kualitas transportasi secara umum di Makassar dan dapat menghambat penerapan slow living.

Pada faktor lain, ketersediaan fasilitas kesehatan yang memadai juga krusial bagi kualitas hidup. 

Ilustrasi rumah sakit Siloam di Makassar. (SHUTTERSTOCK/MEZARIO via Kompas.com) 
Ilustrasi rumah sakit Siloam di Makassar. (SHUTTERSTOCK/MEZARIO via Kompas.com) 
Dihimpun dari laman Pemkot Makassar, Detik Sulsel dan Wikipedia, Makassar memiliki lebih dari 30 rumah sakit, termasuk RSUD Kota Makassar, RS Kemenkes Makassar (berkapasitas 920 tempat tidur), dan RS Wahidin Sudirohusodo, serta 15 Puskesmas yang tersebar di seluruh kecamatan.. 

Keberadaan fasilitas ini menunjukkan aksesibilitas layanan kesehatan bagi masyarakat.

Di sisi lain, Makassar juga menawarkan beragam fasilitas rekreasi yang dapat mendukung gaya hidup yang lebih santai. 

Beberapa di antaranya adalah taman kota seperti Taman Balaikota dan Taman Mangrove, museum seperti Museum La Galigo dan Museum Kota Makassar, serta destinasi wisata alam seperti Pantai Losari dan Taman Nasional Bantimurung. (Detik Sulsel, Tokopedia). 

Keberagaman fasilitas rekreasi ini memberikan potensi yang baik untuk mendukung aktivitas rekreasi dan penerapan gaya hidup yang lebih santai dan selaras dengan prinsip slow living.

Komunitas dan Budaya Lokal: Aset Pendukung Slow Living

Keberadaan komunitas yang suportif dan kekayaan budaya lokal berpotensi mempererat koneksi sosial dan memberikan makna dalam kehidupan, selaras dengan prinsip slow living. 

Informasi dari Sobat Budaya Makassar, Makassar Channel, dan Hipwee menunjukkan aktivitas beragam komunitas di Makassar, meliputi pelestarian budaya, pemberdayaan masyarakat, dan kegiatan sosial. 

Keberadaan komunitas-komunitas ini merupakan potensi positif untuk mendukung interaksi sosial yang sehat dan memperkaya pengalaman hidup, yang merupakan aspek penting dalam penerapan slow living.

Akses ke Alam: Ikon Kota dan Pesona Pulau

Pengunjung melintas di pelataran Anjungan Pantai Losari, Makassar, ditengah matahari yang sedang tenggelam. (KOMPAS/RENY SRI AYU) 
Pengunjung melintas di pelataran Anjungan Pantai Losari, Makassar, ditengah matahari yang sedang tenggelam. (KOMPAS/RENY SRI AYU) 
Akses terhadap alam sangat krusial untuk relaksasi, rekreasi, dan membangun koneksi dengan lingkungan. Dilansir dari Detik dan NapakTilas, Makassar memiliki ikon kota, Pantai Losari, dan Pulau Samalona yang menawarkan keindahan alam memukau. 

Meski demikian, pengembangan ruang terbuka hijau di dalam kota tetap diperlukan agar seluruh warga dapat lebih mudah mengakses alam.

Kesimpulan: Makassar Berpotensi Tapi Belum Ideal

Berdasarkan analisis, Makassar menunjukkan potensi moderat dalam mengadopsi slow living. 

Keberagaman fasilitas rekreasi dan komunitas aktif menjadi modal positif. 

Namun, biaya hidup tinggi, transportasi publik yang belum optimal, dan isu lingkungan menjadi tantangan signifikan.

Pertanyaan krusialnya, bisakah Makassar menjadi representasi kota ideal untuk slow living? Jawabannya BELUM IDEAL. 

Dibutuhkan kolaborasi pemerintah, masyarakat, dan swasta untuk mengatasi tantangan dan memaksimalkan potensi. 

Implementasi gaya hidup ini di Makassar mungkin akan unik, menyesuaikan konteks lokal dan budaya. 

Lebih dari sekadar memperlambat ritme, slow living di Makassar berpotensi menjadi gerakan menemukan keseimbangan di tengah dinamika kota, menciptakan ruang bagi kehidupan yang lebih bermakna dan berkualitas, di mana kecepatan dan ketenangan dapat berdampingan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun