Tingginya biaya hidup ini jelas menjadi penghalang signifikan bagi penerapan slow living.Â
Pertanyaan yang muncul, bagaimana seseorang dapat menikmati hidup dengan santai dan tenang jika tuntutan ekonomi memaksa untuk bekerja keras, bahkan lembur, demi memenuhi kebutuhan dasar?Â
Kondisi ini bertentangan dengan prinsip slow living yang menekankan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan personal.
Kualitas Lingkungan: Potensi dan Permasalahan yang Perlu Diperhatikan
Lingkungan yang sehat dan nyaman memegang peranan penting dalam mendukung gaya hidup slow living.Â
Kualitas udara yang baik, ketersediaan ruang hijau yang memadai, dan tingkat polusi suara yang rendah berkontribusi signifikan terhadap kesehatan fisik dan mental.Â
Berdasarkan data kualitas udara yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2019, konsentrasi rata-rata harian di Makassar tercatat sebesar 37,66 µg/m3. (Ditppu.menlhk.go.id).Â
Walaupun data ini berasal dari tahun 2019, angka 37,66 µg/m3 menunjukkan konsentrasi partikel yang cukup tinggi di udara Makassar.Â
Meskipun masih di bawah baku mutu nasional, angka ini jauh melebihi panduan WHO dan mengindikasikan adanya potensi risiko kesehatan bagi masyarakat.
Selain kualitas udara, ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) juga menjadi isu penting.Â
Data yang dipublikasikan menunjukkan bahwa persentase RTH di Makassar pada akhir tahun 2023 baru mencapai 11,47%, angka ini masih jauh di bawah standar ideal yaitu 30%. (Bisnis.com).Â
Permasalahan lingkungan di Makassar semakin kompleks dengan adanya isu pencemaran yang diakibatkan oleh aktivitas tambang pasir laut yang digunakan untuk proyek reklamasi.Â