Namun, di balik itu semua, ada tujuan terselubung untuk mereduksi pertahanan korban dan akhirnya mengeksploitasi mereka untuk tujuan jahat.
Kasus Agus membuktikan bahwa kekerasan seksual bisa muncul dalam bentuk manipulasi emosional dan psikologis yang sangat halus.Â
Meskipun tubuhnya terbatas, Agus masih mampu merencanakan dan melaksanakan tindakan kejam ini, karena ia memiliki kemampuan untuk berpikir dan mengendalikan situasi dengan cara yang licik dan terencana.
Mengapa Pemahaman Masyarakat Harus Berubah Terhadap Penyandang Disabilitas?
Persepsi masyarakat terhadap penyandang disabilitas sering kali terbatas pada pandangan bahwa mereka adalah individu yang lemah, tidak mampu berbuat jahat, dan tidak dapat menjadi ancaman.Â
Namun, kasus ini menunjukkan bahwa meskipun seseorang memiliki keterbatasan fisik, mereka masih bisa memiliki kecakapan berpikir dan menggunakan strategi psikologis untuk melakukan kekerasan seksual.Â
Hal ini menjadi perhatian serius bagi kita untuk lebih kritis dalam melihat potensi kejahatan yang bisa dilakukan oleh siapa saja, termasuk penyandang disabilitas.
Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat, mengingatkan bahwa penyelesaian kasus kekerasan seksual yang melibatkan penyandang disabilitas harus tetap berpegang pada UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual).Â
Ini adalah langkah yang sangat penting untuk memastikan bahwa hukum berjalan tanpa pandang bulu, dan tidak ada yang dibebaskan hanya karena mereka memiliki disabilitas.Â
Seperti yang disampaikan dalam laporan dari BBC, penyelesaian hukum harus dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku dan bukan melalui mekanisme sosial seperti ganti rugi, yang bisa menutupi kejahatan yang lebih besar.
Kesimpulan
Kasus Agus membuka wawasan penting tentang penyandang disabilitas dan potensi kekerasan seksual yang sering kali diabaikan.Â
Meskipun fisiknya terbatas, Agus menggunakan manipulasi psikologis untuk melaksanakan tindak kejahatannya.Â