Malioboro adalah jantung kota Yogyakarta. Kawasan yang selalu ramai oleh lalu-lalang pengunjung dan aktivitas sosial ini telah menjadi simbol dari apa yang sering disebut sebagai "Jogja Istimewa".Â
Bagi banyak orang, berkunjung ke Malioboro adalah ritual yang tak terpisahkan dari pengalaman mereka di kota ini.Â
Namun belakangan, Malioboro yang kita kenal berubah drastis, bukan hanya dari segi visual, tetapi juga dari segi sosial dan ekonomi.Â
Salah satu perubahan yang paling mencolok adalah penggusuran pedagang kaki lima (PKL) yang sudah menjadi bagian dari keseharian kawasan ini.
Dalam beberapa tahun terakhir, penataan kawasan Malioboro dilakukan dengan alasan untuk memperindah dan meningkatkan daya tarik pariwisata.Â
Proses ini tampaknya lebih berfokus pada aspek estetika dan citra wisata, dengan pengabaian terhadap kesejahteraan masyarakat lokal, terutama PKL yang sudah lama menggantungkan hidup di sana.Â
Dalam artikel ini, saya ingin mengungkapkan bagaimana penataan ini, meski dimaksudkan untuk kemajuan, malah menimbulkan ketidakadilan dan kesulitan bagi mereka yang selama ini menjadi bagian dari "istimewa"-nya Jogja.
Malioboro yang Menggambarkan Kehidupan Sosial dan Ekonomi Lokal
Malioboro bukan sekadar tempat wisata. Kawasan Malioboro adalah sebuah ekosistem yang dinamis, tempat di mana warga lokal, baik pedagang, pengunjung, maupun wisatawan, berinteraksi setiap hari.Â
PKL yang telah lama ada di kawasan ini, adalah bagian integral dari kehidupan Malioboro.Â
Mereka bukan hanya menjual barang dagangan, tetapi juga menciptakan suasana, menghidupkan jalanan dengan aktivitas seni, budaya, dan interaksi sosial.Â
Sejak dulu, mereka telah menjadi ikon yang turut memberikan warna dan karakter bagi Malioboro.