Banyak pedagang yang mengeluhkan waktu yang diberikan untuk relokasi yang sangat singkat, serta kurangnya dukungan untuk memulai usaha baru di lokasi yang disediakan pemerintah.Â
Sebagaimana yang dilaporkan oleh Suara.com, para pedagang di Malioboro diberi ultimatum untuk pindah tanpa peringatan yang memadai.Â
Tidak hanya itu, banyak pedagang yang merasa tidak diberi kesempatan untuk berbicara atau memberikan masukan dalam proses keputusan ini.
Pemerintah harusnya memahami bahwa keberadaan PKL di Malioboro bukan hanya soal perdagangan, tetapi juga soal keberlangsungan hidup mereka.Â
Banyak dari mereka yang telah lama berjualan di kawasan ini, dan relokasi yang tidak disertai dengan dukungan yang cukup akan membuat mereka semakin sulit untuk bertahan hidup.Â
Mengorbankan kesejahteraan mereka demi kemajuan pariwisata yang cenderung fokus pada citra dan estetika tentu saja bukanlah keputusan yang bijaksana.
Kesimpulan
Penataan Malioboro untuk meningkatkan daya tarik wisata harus sejalan dengan pemenuhan kesejahteraan masyarakat lokal, khususnya PKL yang telah lama menjadi bagian dari identitas kawasan ini.Â
Relokasi yang dilakukan tanpa pertimbangan matang terhadap dampaknya menciptakan ketidakadilan sosial dan ekonomi.Â
Oleh karena itu, kebijakan relokasi harus lebih inklusif, melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan memberi ruang bagi mereka untuk beradaptasi.Â
Malioboro perlu mempertahankan esensi keistimewaan Jogja, tidak hanya dari sisi pariwisata, tetapi juga dari kesejahteraan rakyatnya.
***