Namun, pasca-pandemi COVID-19, segala sesuatunya mulai berubah.Â
Malioboro yang dulu penuh sesak dengan keramaian kini mulai terlihat lebih steril dan teratur.Â
Seiring dengan penataan yang dilakukan pemerintah, penggusuran PKL mulai dilakukan untuk membuka ruang bagi pembangunan infrastruktur pariwisata yang lebih teratur dan estetik.Â
Namun, seperti yang sering terjadi dalam proyek-proyek semacam ini, dampaknya jauh lebih rumit daripada sekadar perubahan fisik.
Relokasi PKL yang Tergesa-gesa dan Tanpa Sosialisasi yang Memadai
Salah satu masalah utama dalam penataan Malioboro adalah cara pemerintah melakukan relokasi terhadap para PKL.Â
Proses relokasi yang dilakukan secara tergesa-gesa dan tanpa sosialisasi yang memadai menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi para pedagang.Â
Seperti dikutip oleh Mojok, Ketua Koperasi Paguyuban PKL Malioboro, Tri Dharma Rudiarto, menekankan bahwa para pedagang belum menerima informasi resmi mengenai relokasi tersebut.Â
Mereka hanya mendengar kabar melalui media, bukan dari pemerintah atau pihak terkait yang langsung terlibat.Â
Hal ini jelas menciptakan ketegangan di kalangan pedagang, yang merasa tidak diberi kesempatan untuk mempersiapkan diri atau memberi masukan terhadap keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.
Menurut data yang dilaporkan oleh JawaPos, situasi ini semakin diperburuk dengan minimnya komunikasi antara pemerintah dan PKL.Â
Padahal, banyak dari mereka yang menggantungkan hidup di sana, terutama setelah ekonomi mereka terpuruk akibat pandemi.Â