Indonesia hanya mengalokasikan sekitar 1% dari PDB untuk penelitian dan pengembangan, sebuah angka yang sangat jauh jika dibandingkan dengan negara-negara maju seperti Jepang yang mengalokasikan lebih dari 3%.Â
Dana yang terbatas ini menyebabkan riset di Indonesia sering kali terhambat di tengah jalan, bahkan pada tahap yang paling dasar sekalipun.Â
Sumber daya manusia, yang seharusnya menjadi aset utama, juga sering kali terbentur oleh minimnya fasilitas penelitian yang memadai.
Selain itu, penelitian oleh Indonesia Economic Forum (2021) juga menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara hasil riset dan kebutuhan industri.Â
Banyak riset yang dilakukan di Indonesia terkesan hanya untuk kepentingan akademik, bukan untuk menghasilkan solusi yang bisa langsung diterapkan di lapangan.Â
Hal ini mengarah pada kesenjangan antara dunia akademik dan dunia industri yang semakin lebar.Â
Mengingat bahwa salah satu fungsi riset adalah untuk menciptakan solusi bagi tantangan nyata di masyarakat, maka riset yang tidak aplikatif hanya akan menjadi sesuatu yang sia-sia.
Budaya Riset yang Menanti Perubahan
Salah satu hal yang saya rasa perlu menjadi fokus utama adalah budaya riset yang ada di Indonesia.Â
Global Development Network (2019) mengungkapkan bahwa riset di Indonesia cenderung lebih berorientasi pada teori daripada praktik.Â
Banyak peneliti yang terjebak dalam labirin abstraksi tanpa menyentuh akar permasalahan yang ada di masyarakat.Â
Padahal, Indonesia memiliki banyak masalah yang memerlukan riset aplikatif, seperti masalah pertanian, kemiskinan, dan kesehatan.Â