Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Indonesia Terjebak dalam Lingkaran Perkawinan Anak

7 Desember 2024   11:00 Diperbarui: 7 Desember 2024   11:02 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aktivis melakukan aksi damai Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak di Surabaya, Jawa Timur. (KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA) 

Pernikahan dini, atau yang lebih sering disebut sebagai perkawinan anak, bukanlah fenomena baru di Indonesia. Namun, permasalahan ini kembali mencuat ke permukaan, dengan data yang semakin mencengangkan. 

Mengapa kita sebagai masyarakat, terus membiarkan praktik yang jelas berdampak buruk pada masa depan anak-anak kita? 

Artikel berikut akan untuk menggali mengenai penyebab, dampak, dan solusi terkait pernikahan anak yang hingga kini masih menjadi masalah besar di Indonesia.

Penyebab Utama Perkawinan Anak

Menurut laporan UNICEF, Indonesia berada di posisi yang sangat mengkhawatirkan, dengan 25,53 juta perempuan di bawah usia 18 tahun yang telah menikah. 

Angka ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia (UNICEF, 2023). 

Penyebab utama dari tingginya angka pernikahan anak ini tidak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi yang membelit sebagian besar masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan.

Saya sering mendengar cerita dari teman-teman dan kerabat di kampung halaman tentang bagaimana orang tua yang terdesak oleh kemiskinan memilih untuk menikahkan anak mereka, dengan harapan bisa sedikit meringankan beban hidup mereka. 

Tentu ini bukan solusi yang sehat. Alih-alih memperbaiki keadaan, pernikahan anak justru semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka. 

Ini lebih mirip sebuah siklus yang berulang. Dimana anak-anak yang menikah dini sering tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, yang pada gilirannya menghambat mereka untuk memperbaiki kualitas hidup mereka di masa depan.

Selain faktor ekonomi, pengaruh budaya lokal juga memperburuk praktik pernikahan anak ini. 

Di beberapa daerah, terutama di Jawa Barat, masih ada tradisi yang menganggap pernikahan anak sebagai hal yang wajar. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun