Pernikahan dini, atau yang lebih sering disebut sebagai perkawinan anak, bukanlah fenomena baru di Indonesia. Namun, permasalahan ini kembali mencuat ke permukaan, dengan data yang semakin mencengangkan.Â
Mengapa kita sebagai masyarakat, terus membiarkan praktik yang jelas berdampak buruk pada masa depan anak-anak kita?Â
Artikel berikut akan untuk menggali mengenai penyebab, dampak, dan solusi terkait pernikahan anak yang hingga kini masih menjadi masalah besar di Indonesia.
Penyebab Utama Perkawinan Anak
Menurut laporan UNICEF, Indonesia berada di posisi yang sangat mengkhawatirkan, dengan 25,53 juta perempuan di bawah usia 18 tahun yang telah menikah.Â
Angka ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia (UNICEF, 2023).Â
Penyebab utama dari tingginya angka pernikahan anak ini tidak bisa dilepaskan dari faktor ekonomi yang membelit sebagian besar masyarakat, terutama di daerah-daerah pedesaan.
Saya sering mendengar cerita dari teman-teman dan kerabat di kampung halaman tentang bagaimana orang tua yang terdesak oleh kemiskinan memilih untuk menikahkan anak mereka, dengan harapan bisa sedikit meringankan beban hidup mereka.Â
Tentu ini bukan solusi yang sehat. Alih-alih memperbaiki keadaan, pernikahan anak justru semakin memperburuk kondisi ekonomi mereka.Â
Ini lebih mirip sebuah siklus yang berulang. Dimana anak-anak yang menikah dini sering tidak mendapatkan pendidikan yang memadai, yang pada gilirannya menghambat mereka untuk memperbaiki kualitas hidup mereka di masa depan.
Selain faktor ekonomi, pengaruh budaya lokal juga memperburuk praktik pernikahan anak ini.Â
Di beberapa daerah, terutama di Jawa Barat, masih ada tradisi yang menganggap pernikahan anak sebagai hal yang wajar.Â