Liburan Natal dan Tahun Baru 2025 semakin dekat. Bagi banyak orang, liburan panjang ini adalah kesempatan emas untuk berkumpul dengan keluarga atau mengunjungi destinasi impian.Â
Namun, sejak pandemi, harga tiket pesawat domestik telah menjadi momok yang mengganggu.Â
Meningkatnya biaya perjalanan udara kerap menambah beban masyarakat, terutama mereka yang berasal dari kalangan menengah ke bawah.Â
Di tengah keluhan ini, pemerintah Indonesia mengumumkan penurunan harga tiket pesawat sekitar 10% menjelang libur akhir tahun. Penurunan ini bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat.Â
Namun, apakah kebijakan ini cukup efektif, ataukah hanya sebuah solusi sementara yang tidak mengatasi akar masalah?
Penurunan Harga: Sebuah Langkah yang Diharapkan
Menurut Kanal Youtube Harian Kompas, pemerintah resmi mengumumkan penurunan harga tiket pesawat sebesar 10% untuk seluruh kategori penumpang.Â
Kebijakan ini mulai berlaku pada 19 Desember 2024 hingga 3 Januari 2025 dan mencakup penerbangan domestik yang dilayani oleh 19 bandara di seluruh Indonesia.Â
Tujuannya jelas, yakni untuk meningkatkan daya beli masyarakat dan meredakan keluhan terkait harga tiket pesawat yang dianggap terlalu tinggi pasca-pandemi.Â
Bahkan, Presiden Prabowo Subianto menyambut baik kebijakan ini dalam sidang kabinet, memberikan dukungan kuat terhadap langkah yang diambil oleh Menteri Perhubungan dan tim terkait.
Namun, meski penurunan harga ini diharapkan mendorong lebih banyak orang untuk membeli tiket pesawat, respons masyarakat justru kurang antusias.Â
Data yang dikutip dari Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia (APJAPI), Alvin Lee, menunjukkan bahwa pada awal Desember 2024, hanya sekitar 42% tiket yang terjual.Â
Angka ini tentu sangat rendah, mengingat periode liburan Natal dan Tahun Baru biasanya dipenuhi dengan lonjakan permintaan tiket pesawat.Â
Hal ini mengundang pertanyaan: Mengapa masyarakat tampak tidak terlalu tertarik meskipun harga tiket sudah turun?
Mengapa Animo Masyarakat Masih Rendah?
Berdasarkan literatur terkait, rendahnya minat masyarakat terhadap tiket pesawat meski harganya sudah turun mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor ekonomi.Â
Satu hal yang cukup jelas adalah ketidakstabilan ekonomi yang masih dirasakan sebagian besar masyarakat setelah pandemi.Â
Meskipun ada perbaikan, namun banyak orang, terutama di kelas menengah ke bawah, masih ragu-ragu untuk mengeluarkan uang untuk hal-hal yang dianggap tidak mendesak, seperti perjalanan udara.
Daya beli mereka belum sepenuhnya pulih, dan mereka lebih memilih menabung untuk kebutuhan lainnya yang dianggap lebih prioritas.
Faktor ketidakstabilan ekonomi ini didukung studi oleh Andal (2021), meskipun kebijakan penurunan harga tiket pesawat dapat memberikan sedikit kelegaan bagi konsumen, ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi membuat masyarakat cenderung lebih berhati-hati dalam mengeluarkan uang.Â
Masyarakat lebih memilih untuk mengalihkan dana mereka ke kebutuhan sehari-hari daripada menghabiskannya untuk perjalanan, meskipun harga tiket turun. Ini adalah masalah yang lebih besar daripada sekadar penurunan harga yang sifatnya sementara.
Selain itu, meskipun harga tiket pesawat turun 10%, tetap saja harga tersebut masih dianggap relatif tinggi oleh banyak orang.Â
Mengingat biaya hidup yang terus meningkat pasca-pandemi, bagi sebagian orang, harga tiket pesawat tetap merupakan penghalang yang signifikan.Â
Sebagai contoh, untuk perjalanan pulang pergi Jakarta-Surabaya, meskipun harga tiket turun, tarif yang masih berkisar antara satu hingga dua juta rupiah tetap terasa mahal bagi mereka yang berpenghasilan menengah.
Ketidakpastian Kebijakan yang Sementara
Hal lain yang patut dipertanyakan adalah sifat kebijakan ini yang terbatas pada periode liburan.Â
Penurunan harga hanya berlaku untuk penerbangan yang dilakukan dalam waktu kurang dari dua minggu, dari 19 Desember 2024 hingga 3 Januari 2025.Â
Kebijakan yang hanya berlaku pada waktu tertentu ini cenderung tidak cukup untuk merangsang perubahan signifikan dalam pola pikir masyarakat.Â
Masyarakat Indonesia, seperti yang banyak kita lihat dalam perilaku belanja, cenderung menginginkan kestabilan dan kepastian, bukan kebijakan yang datang dan pergi dalam waktu singkat.
Erick Thohir, Menteri BUMN, juga sempat menegaskan dalam konferensi pers di Bandara Soekarno-Hatta bahwa animo masyarakat terhadap kebijakan ini belum dapat disimpulkan dengan pasti.Â
Ini menunjukkan bahwa meskipun penurunan harga tiket pesawat adalah langkah yang positif, efektivitasnya masih dipertanyakan, mengingat hanya 42% tiket yang terjual di awal bulan Desember.Â
Temuan penelitian oleh Zaki (2023) menunjukkan bahwa kebijakan satu sisi seperti penurunan harga tiket pesawat belum cukup mampu mengubah pola konsumsi masyarakat secara drastis.
Apa yang Harus Dilakukan ke Depan?
Meskipun kebijakan penurunan harga tiket pesawat selama liburan ini patut diapresiasi, saya rasa hal ini belum cukup untuk memberikan solusi jangka panjang.Â
Penurunan harga yang bersifat sementara hanya bisa memberikan manfaat sesaat, dan tidak mengatasi akar masalah yang lebih besar, yakni daya beli masyarakat yang mengendor dan harga tiket yang tinggi dalam jangka panjang.Â
Untuk itu, pemerintah perlu memikirkan kebijakan yang lebih stabil dan dapat memberikan harga tiket yang terjangkau sepanjang tahun.
Lebih jauh, kebijakan ini harus diikuti dengan upaya yang lebih terintegrasi, misalnya dengan memperbaiki layanan transportasi lainnya yang bisa menjadi alternatif.Â
Penyederhanaan biaya operasional maskapai juga dapat menjadi solusi yang perlu dipertimbangkan agar harga tiket bisa lebih kompetitif dan lebih terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sebagai masyarakat, kita tentu berharap pemerintah terus mendorong kebijakan yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang, dan tidak hanya bertumpu pada kebijakan yang terbatas dan bersifat sementara.Â
Penurunan harga tiket pesawat ini adalah langkah awal, tetapi untuk benar-benar merasakan dampak yang signifikan, kita memerlukan kebijakan yang lebih luas dan lebih konsisten.
Kesimpulan
Penurunan harga tiket pesawat sebesar 10% menjelang liburan Natal dan Tahun Baru adalah kebijakan yang menggembirakan, walau dampaknya tidak begitu besar.Â
Masyarakat tampaknya masih ragu untuk membeli tiket meskipun harga turun, dan hal ini mencerminkan ketidakpastian ekonomi yang masih melanda banyak orang.Â
Kebijakan yang bersifat sementara, belum cukup untuk mengatasi masalah harga tiket yang lebih besar dan lebih kompleks.Â
Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan yang lebih berkelanjutan dan memperhatikan kondisi ekonomi masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya fokus pada satu periode liburan saja.
***
Referensi:
- Prakash, S. (2022). The Impact of Government Subsidies on Airline Ticket Prices: A Case Study of Indonesia. Journal of Transport Economics and Policy. Diakses dari https: //proceedings. itltrisakti. ac. id/index. php/ATLR/article/download/186/217
- Andal, M. (2021). Economic Policies and Their Impact on Consumer Behavior: Evidence from the Airline Industry. International Journal of Economics and Finance. Diakses dari https: //www. jstor. org/stable/pdf/2117533. pdf
- Zaki, A. (2023). Government Interventions in Airline Pricing: A Comparative Study. Asian Journal of Public Administration. Diakses dari https: //link. springer. com/article/10.1007/s11293-023-09779-4
- Harian Kompas Youtube. (2024). Harga Tiket Pesawat Turun, Masyarakat Kurang Antusias? Kanal Youtube Harian Kompas. Diakses dari https: //www. youtube. com/watch?v=uL-Jqk_Bcds
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H