Jika pernah mengunjungi Lombok, ada satu tempat yang pasti menyimpan cerita budaya yang kental dan kaya, yaitu Desa Sade.Â
Terletak di Lombok Tengah, desa ini bukan sekadar tempat tinggal masyarakat, melainkan sebuah desa wisata yang hingga kini tetap melestarikan kehidupan tradisional Suku Sasak.Â
rumah tradisional yang dipenuhi dengan kegiatan menenun, kerajinan tangan, dan pertunjukan seni seperti Gendang Beleg dan Tari Peresean.Â
Di desa ini, kita akan menemukan rumah-Lebih dari sekadar objek wisata, Desa Sade adalah bukti nyata bagaimana budaya lokal masih bisa bertahan, bahkan berkembang di era yang semakin modern.
Namun, ada sisi menarik dari Desa Sade yang perlu kita telusuri lebih dalam.Â
Desa ini telah ditetapkan sebagai desa wisata sejak 1989, dan terus berupaya mempertahankan tradisi lokal yang menjadi daya tarik utamanya.Â
Tapi, di balik keberhasilan ini, ada sebuah pertanyaan besar yang harus kita renungkan bersama.Â
Apakah strategi pelestarian tradisi yang diterapkan di sini, seperti pembatasan jumlah penduduk, dapat terus berjalan tanpa mengorbankan peluang ekonomi bagi generasi muda?
Keunikan dan Pelestarian Tradisi Desa Sade
Desa Sade bukanlah tempat yang seperti kebanyakan desa wisata lainnya.Â
Di sini, rumah-rumah warga masih dibangun dengan cara yang sangat tradisional, menggunakan bambu dan alang-alang.Â
Apa yang menarik, lantai rumah mereka dibuat dari campuran kotoran sapi yang dipadatkan.Â
Teknik ini telah menjadi bagian dari identitas mereka yang tak tergantikan.Â
Selain itu, penduduk setempat menggeluti berbagai kerajinan tangan, seperti tenun ikat, yang menjadi sumber penghidupan sekaligus menjadi cerminan budaya Sasak yang sudah turun temurun.Â
Menurut data yang saya temui di DetikTravel, desa ini tidak hanya mempertahankan tradisi, tetapi juga membuka pintu bagi wisatawan yang ingin merasakan pengalaman langsung dengan budaya tersebut.
Tak hanya itu, Desa Sade juga terkenal dengan tradisi Gendang Beleg yang meriah dan Tari Peresean yang penuh semangat.Â
Kedua pertunjukan ini adalah bagian dari identitas budaya yang dijaga dengan ketat, sebagai daya tarik bagi wisatawan, baik lokal maupun internasional.Â
Bukan hanya sebagai atraksi, kegiatan-kegiatan tersebut juga menjadi sarana untuk memperkenalkan budaya Sasak ke dunia luar.
Namun, meski desa ini terus berkembang sebagai destinasi wisata, ada satu kebijakan yang diterapkan oleh desa ini yang cukup menarik, yaitu pembatasan jumlah penduduk.Â
Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian desa dan mencegah adanya kepadatan yang dapat merusak keaslian dan tradisi yang ada. Tentu saja, kebijakan ini punya plus-minus.Â
Sementara desa tetap terjaga keasliannya, ada potensi masalah di sisi ekonomi, terutama bagi generasi muda yang ingin mencari peluang kerja di desa tersebut.
Tradisi Kawin Culik dan Rumah Tahan Gempa
Di Indonesia, ada banyak desa adat lainnya yang juga menjaga warisan budaya mereka agar tetap hidup. Salah satu contohnya adalah tradisi kawin culik yang masih dilestarikan di Desa Sade.Â
Menurut Kompas Travel, tradisi ini merupakan bagian dari identitas mereka yang menarik perhatian banyak wisatawan.Â
Tradisi kawin culik, meskipun terdengar asing bagi banyak orang, tetap menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sasak yang menjaga keberlanjutan adat istiadat mereka.
Selain itu, rumah tradisional di Desa Sade yang tahan gempa juga menjadi daya tarik tersendiri.Â
Keunikan rumah-rumah tersebut bukan hanya menarik untuk wisatawan, tetapi juga memberi pelajaran tentang cara-cara masyarakat Sasak beradaptasi dengan alam dan menjaga kelestarian lingkungan mereka.Â
Konsep rumah tahan gempa ini mungkin bisa menjadi pelajaran penting dalam merancang bangunan yang ramah bencana.
Tantangan dalam Mengelola Wisata Budaya
Salah satu tantangan terbesar dalam mengelola wisata berbasis budaya seperti Desa Sade adalah menemukan keseimbangan antara pelestarian tradisi dan pemberian peluang ekonomi yang cukup bagi penduduk, terutama untuk generasi muda.Â
Pembatasan jumlah penduduk yang diterapkan oleh desa ini, meskipun penting untuk menjaga kelestarian lingkungan dan budaya, dapat berdampak pada peluang ekonomi yang ada.Â
Dengan terbatasnya jumlah penduduk, generasi muda di desa ini mungkin kesulitan untuk memperoleh pekerjaan tetap.Â
Selain itu, mereka mungkin harus mencari nafkah di luar desa, yang bisa mengurangi minat mereka untuk tinggal dan melestarikan tradisi yang ada.
Di sisi lain, pembatasan jumlah penduduk juga penting untuk menghindari kepadatan yang bisa merusak daya tarik desa itu sendiri.Â
Desa Sade sudah cukup dikenal dan sering dikunjungi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.Â
Jika desa ini terus berkembang tanpa pengaturan yang jelas, dikhawatirkan akan terjadi perubahan yang dapat mengancam kelestarian budaya asli Sasak.Â
Oleh karena itu, kebijakan ini tetap relevan meskipun ada beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam implementasinya.
Kesimpulan
Desa Sade menunjukkan bahwa pelestarian budaya dan pengembangan ekonomi dapat berjalan seiring, meski penuh tantangan.Â
Pembatasan jumlah penduduk menjadi langkah penting agar tradisi tetap terjaga tanpa mengorbankan potensi ekonomi.Â
Desa ini mengajarkan kita pentingnya menemukan keseimbangan antara konservasi dan kemajuan.Â
Dengan pendekatan yang bijaksana, Desa Sade bisa terus menjadi contoh wisata budaya yang berkelanjutan, memberikan manfaat bagi generasi mendatang.
***
Referensi:
- DetikTravel. (2024). Desa adat Sade, tempat wisata ikonik Lombok sejak tahun 1989. Diakses dari [https: //travel. detik. com/cerita-perjalanan/d-7672018/desa-adat-sade-tempat-wisata-ikonik-lombok-sejak-tahun-1989].
- Kompas Travel. (2024). Desa Sade, Lombok: Desa adat suku Sasak yang penuh keunikan dan tradisi. Diakses dari [https: //travel. kompas. com/read/2024/10/02/170400327/desa-sade-lombok-desa-adat-suku-sasak-yang-penuh-keunikan-dan-tradisi].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H