Bahasa, seperti budaya, selalu mengalami perubahan seiring berjalannya waktu.Â
Namun, perubahan itu kini terjadi lebih cepat dibanding sebelumnya, berkat pengaruh media sosial, terutama TikTok.Â
Istilah-istilah baru seperti rizz, no cap, dan skibidi, yang dulunya hanya dikenal di dunia maya, kini sudah menjadi bagian dari percakapan sehari-hari, terutama di kalangan generasi Z.Â
Bahkan, beberapa istilah yang semula viral ini berhasil masuk ke dalam kamus resmi, seperti Oxford English Dictionary, yang menunjukkan betapa besar pengaruh media sosial dalam mempercepat evolusi bahasa.
Media Sosial Sebagai Mesin Penyebar Bahasa Baru
TikTok, dengan algoritma berbasis preferensi pengguna, telah mempercepat penyebaran berbagai istilah baru dalam waktu yang sangat singkat.Â
Berbeda dengan media tradisional yang membutuhkan waktu lama untuk mengenalkan istilah baru, TikTok memungkinkan kata-kata baru menjadi viral hanya dalam hitungan jam atau hari.Â
Data dari Oxford Languages menunjukkan bahwa dalam lima tahun terakhir, penggunaan istilah baru dalam komunikasi digital meningkat hingga 65%.Â
Beberapa kata yang populer di TikTok, seperti selfie, ghosting, atau vibe, kini tercatat dalam kamus resmi, mencerminkan bagaimana platform ini telah menjadi ruang sosial di mana bahasa berkembang dengan cepat.Â
TikTok, yang kini lebih dari sekadar platform hiburan, telah membentuk cara kita berkomunikasi, bahkan memengaruhi bagaimana kita berpikir dan berinteraksi.
Generasi Z dan Identitas Kelompok Melalui Bahasa
Bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi. Bahasa juga mencerminkan identitas dan budaya suatu kelompok.Â
Di TikTok, penggunaan istilah baru tidak hanya menunjukkan cara berbicara generasi Z, tetapi juga menegaskan eksistensi mereka dalam ruang sosial digital yang inklusif.Â
Istilah-istilah seperti rizz atau no cap menjadi penanda kelompok bagi mereka yang memahami makna kata tersebut.Â
Mereka yang tidak familiar dengan istilah ini merasa terpinggirkan, sedangkan mereka yang tahu merasa lebih terhubung.Â
Fenomena ini, yang telah melampaui batas negara, menciptakan identitas global di kalangan generasi muda.Â
Dengan bahasa digital yang dipengaruhi TikTok, generasi Z kini membangun kesadaran bersama bahwa cara berbicara mereka adalah ciri khas yang mudah dikenali di seluruh dunia.
Perbandingan dengan Perubahan Bahasa di Masa Lalu
Perubahan bahasa melalui media bukanlah hal baru. Di masa lalu, televisi dan film Hollywood memperkenalkan frasa-frasa populer seperti cool, groovy, dan far out, yang kemudian menyebar secara global.Â
Namun, perbedaan utama antara media sosial seperti TikTok dan media tradisional adalah kecepatan penyebaran istilah baru.Â
Di TikTok, kata-kata baru dapat menjadi viral dalam hitungan jam, sementara media tradisional seperti radio atau televisi membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk mempopulerkan istilah baru.Â
Kecepatan ini membuat perubahan bahasa terasa lebih cepat dan lebih luas dampaknya, menyentuh audiens global dalam waktu yang jauh lebih singkat dan merata.Â
Perubahan yang dulunya memerlukan waktu panjang kini bisa terjadi seketika di dunia maya.
Homogenisasi Bahasa dan Kehilangan Keberagaman Linguistik
Namun, fenomena perubahan bahasa ini juga menghadirkan tantangan besar, yaitu homogenisasi bahasa.Â
Dengan dominasi bahasa global yang terus berkembang, bahasa-bahasa lokal mulai terancam punah.Â
Istilah-istilah baru yang populer di TikTok, meski memperkaya percakapan digital, dapat menyebabkan penurunan penggunaan bahasa daerah atau ungkapan tradisional.Â
Menurut ahli bahasa, Sophia Smith Galer, teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), dapat membantu melestarikan bahasa yang hampir punah.Â
Teknologi dapat digunakan untuk mempelajari dan mengajarkan bahasa lokal melalui algoritma yang lebih cerdas, memberikan peluang untuk menjaga keberagaman linguistik meskipun arus perubahan bahasa digital semakin cepat.Â
Misalnya, aplikasi pembelajaran bahasa kini memanfaatkan AI untuk melestarikan bahasa-bahasa yang terancam punah, sebuah langkah penting untuk memastikan bahwa budaya lokal tidak hilang di tengah arus globalisasi.
Keseimbangan Antara Globalisasi dan Keberagaman Bahasa
Keseimbangan antara adopsi bahasa global dan pelestarian bahasa lokal menjadi sangat penting.Â
Bahasa yang berkembang pesat di platform seperti TikTok mempercepat komunikasi dan menciptakan identitas sosial global yang lebih inklusif.Â
Namun, kita juga harus menyadari bahwa bahasa-bahasa lokal yang kaya akan makna, sejarah, dan tradisi harus dilestarikan.Â
Menerima bahasa baru yang berkembang tidak berarti mengorbankan bahasa tradisional yang menjadi identitas suatu bangsa.Â
Sebagai masyarakat, kita perlu berupaya untuk mengadopsi bahasa global tanpa mengorbankan keberagaman linguistik yang telah membentuk kita selama berabad-abad.Â
Dalam hal ini, teknologi dan kebijakan pemerintah dapat memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan tersebut.
Bahasa Sebagai Cermin Budaya dan Identitas
Perubahan bahasa yang terjadi di era media sosial, terutama melalui TikTok, mencerminkan evolusi budaya yang sangat cepat dan dinamis.Â
TikTok, sebagai platform utama, tidak hanya memperkenalkan bahasa baru, tetapi juga membentuk identitas generasi Z yang lebih inklusif dan mudah dikenali.Â
Namun, dalam menghadapi perubahan ini, kita harus bijak.Â
Mengadopsi bahasa global yang digunakan di dunia maya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengorbankan bahasa lokal yang menjadi akar budaya kita.Â
Apakah kita akan berhasil menjaga keberagaman linguistik di tengah derasnya globalisasi?Â
Ataukah bahasa-bahasa lokal akan terpinggirkan?
***
Referensi:
- Futurity. (2024). Why TikTok is poised to change how we speak.
- TikTok Newsroom. (2023). TikTok What's Next 2024 Trend Report.
- The Guardian. (2023). Oxford Languages report highlights the impact of social media on new words.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H