Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Lelaki Tidak Bercerita, Tapi Mati-Matian Menahan Rasa

29 November 2024   06:00 Diperbarui: 29 November 2024   06:15 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan Layar Pidato Presiden RI Prabowo Subianto Menangis di Puncak Hari Guru Nasional 2024. Foto: Istimewa/Harnas.id 

Gagasan bahwa laki-laki tidak perlu bercerita atau laki-laki harus kuat dan tidak rapuh sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat Indonesia. 

Pandangan ini semakin diperparah oleh tren di media sosial yang mendorong pria untuk memendam masalah mereka sendiri. 

Namun berdasarkan Kompas, lebih dari 1,4 juta laki-laki di Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental, salah satunya disebabkan oleh budaya maskulinitas toksik. 

Budaya ini mengajarkan laki-laki untuk tidak menunjukkan kerentanan, yang berdampak buruk pada kesehatan mental mereka, memperburuk stigma bahwa berbicara tentang perasaan adalah sesuatu yang tidak seharusnya dilakukan oleh pria.

Mengkritisi Pandangan Laki-Laki Tidak Boleh Bercerita

Kritik terhadap pandangan bahwa laki-laki tidak boleh bercerita harusnya datang dari berbagai arah. Dari para ahli kesehatan mental hingga mereka yang dekat di kehidupan pria itu. 

Karena seringkali, setelah berbicara dengan seseorang yang dipercaya, pria merasa lebih ringan, lebih baik. 

Berbicara bukanlah selalu tentang mencari solusi. Terkadang, hanya dengan berbagi, kita mulai merasakan sedikit kelegaan, atau setidaknya, kita tahu bahwa kita tak sendirian menghadapi beban itu. 

Sebuah percakapan bisa menjadi ruang untuk mengurai ketegangan, tanpa perlu mencari jawaban, hanya ada kehadiran yang mendengar.

Namun, realitasnya, banyak pria merasa terhambat untuk berbicara karena mereka diajarkan sejak kecil bahwa menangis atau menunjukkan kerentanannya adalah tanda kelemahan. 

Menurut Psikolog Haryo Widodo, seperti dikutip Kompas, hal ini tidak hanya berlaku pada masalah yang kecil, namun juga pada perasaan yang lebih besar dan lebih kompleks, seperti stres, depresi, atau bahkan perasaan tertekan yang lebih berat. 

Stereotip ini terbentuk oleh ajaran budaya yang menyebutkan bahwa pria harus selalu kuat, tahan banting, dan tidak boleh terlihat rapuh. 

Padahal, kenyataannya, ketidakmampuan untuk mengungkapkan perasaan dapat berujung pada masalah kesehatan mental yang lebih besar di kemudian hari, yang sering kali tidak terdeteksi hingga terlambat.

Maskulinitas Toksik dan Dampaknya pada Kesehatan Mental Pria

Ilustrasi kesehatan mental pria (Diolah dengan Dreamina AI)
Ilustrasi kesehatan mental pria (Diolah dengan Dreamina AI)
Di balik fenomena laki-laki tidak bercerita ini, kita melihat adanya pengaruh besar dari konsep maskulinitas toksik, yang menjadikan pria terjebak dalam tekanan sosial yang mengharuskan mereka menahan segala bentuk emosi atau kerentanan. 

Dalam budaya maskulinitas toksik, pria diajarkan bahwa perasaan mereka harus disembunyikan dan bahwa tidak ada tempat untuk mengekspresikan diri mereka secara terbuka. 

Hal ini bukan hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan.

Angka bunuh diri pria yang lebih tinggi dibandingkan wanita adalah salah satu bukti nyata dari dampak negatif maskulinitas toksik. 

Menurut Media Indonesia, tingkat bunuh diri pria di negara-negara yang lebih menganut budaya maskulinitas tradisional, seperti Indonesia, masih cukup tinggi. 

Ini berbeda dengan negara-negara seperti Skandinavia yang lebih terbuka terhadap ekspresi emosional, di mana pria merasa lebih bebas untuk berbicara dan menunjukkan perasaan mereka tanpa takut dianggap lemah. 

Penelitian menunjukkan bahwa di negara-negara tersebut, tingkat bunuh diri pria jauh lebih rendah, karena masyarakatnya lebih mendukung para pria untuk berbagi perasaan dan mencari dukungan ketika mereka mengalami tekanan emosional.

Kembali ke Indonesia, ketidakmampuan untuk berbicara sering kali menyebabkan pria merasa terisolasi dalam kesedihan mereka, yang berpotensi menambah beban mental. 

Padahal, berbicara dengan orang terdekat bisa meringankan stres, membantu kita melihat situasi dengan perspektif yang berbeda, dan memperbaiki keadaan mental yang tertekan. 

Berbicara juga merupakan cara untuk menyadari bahwa masalah yang kita hadapi mungkin lebih mudah dihadapi jika kita tidak melakukannya sendirian.

Mengapa Laki-Laki Harus Berbicara?

Apakah berbicara benar-benar bisa mengurangi beban mental? Jawabannya adalah YA.

Berdasarkan data dan penelitian, berbicara adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menjaga kesehatan mental yang baik. 

Dalam hal ini, berbicara dengan teman dekat, pasangan, atau seorang profesional kesehatan mental bisa memberikan kelegaan yang sangat dibutuhkan. 

Jika berbicara bukan hanya sekadar keluh kesah atau mengeluh tanpa alasan, melainkan bagian dari proses untuk mencari pemahaman diri dan mengatasi perasaan yang terpendam, maka ini bisa sangat menguntungkan.

Menahan perasaan hanya akan memperburuk keadaan. Tidak ada yang salah dengan mengungkapkan perasaan atau kesulitan yang sedang dihadapi. 

Menurut psikolog Haryo Widodo, kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki setiap orang, tanpa terkecuali pria. 

Tanpa berbicara, banyak pria yang malah terjebak dalam perasaan mereka sendiri, merasa tidak ada jalan keluar, dan pada akhirnya, mereka berisiko mengalami gangguan mental yang lebih serius.

Kesimpulan

Kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap maskulinitas dan pentingnya berbicara. Maskulinitas yang mengajarkan laki-laki untuk memendam perasaan harus digantikan dengan pemahaman yang lebih sehat. 

Bahwa laki-laki yang berbicara tentang perasaan bukanlah tanda laki-laki lemah, tetapi cara untuk mengatasi tekanan hidup dengan lebih bijaksana. 

Budaya yang menuntut pria untuk selalu kuat dan menahan perasaan harus digantikan dengan budaya yang lebih inklusif dan mendukung untuk kesehatan mental semua orang, tanpa memandang jenis kelamin.

***

Referensi:

  • Kompas. (2024, August 6). Membuka diri: Pintu penyelamat bagi yang lagi depresi. Kompas.
  • Klikdokter. (n.d.). Apa itu toxic masculinity? Klikdokter.
  • Krajan. (n.d.). Mengenal toxic masculinity: Stereotip masyarakat terhadap emosi laki-laki. Krajan.
  • Media Indonesia. (2024, June 19). Hari pria sedunia 2024: Masalah-masalah yang sering dihadapi kaum pria. Media Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun