Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wibu dan Stigma, Saatnya Memahami, Bukan Menghakimi

27 November 2024   12:00 Diperbarui: 27 November 2024   12:11 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika mendengar kata wibu, mungkin sebagian dari kita langsung membayangkan stereotip yang sudah lama melekat. Nolep, anti-sosial, atau bahkan pervert adalah label yang kerap disematkan pada mereka yang menyukai anime dan budaya Jepang. Namun, apakah stigma ini benar-benar berdasar? Atau ini sekadar bentuk lain dari ketidakpahaman masyarakat terhadap sesuatu yang berbeda? 

Sebagai seorang millennial yang tumbuh dengan kegemaran membaca komik dan menonton kartun Minggu pagi di TV, saya sebenarnya tidak merasa asing dengan antusiasme para wibu terhadap anime. 

Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin saya melihat fenomena ini, saya sadar bahwa stigma negatif terhadap wibu tidak hanya keliru, tetapi juga sangat merugikan. 

Wibu, seperti komunitas lainnya, adalah wujud keberagaman budaya yang seharusnya kita pahami dan hargai, bukan kita hakimi.

Stigma yang Berakar pada Kesalahpahaman

Dalam salah satu jurnal dari Universitas Indonesia, wibu sering digambarkan negatif di media sosial, terutama dengan label seperti bau bawang atau nolep. 

Label ini sering muncul tanpa dasar yang jelas, hanya karena seseorang memiliki ketertarikan yang berbeda, yaitu anime dan segala perintilannya. 

Padahal jika kita lihat lebih dekat, anime bukan sekadar hiburan. 

Banyak judul anime yang membawa narasi kompleks, mulai dari kritik sosial hingga nilai-nilai kehidupan.

Attack on Titan (AOT), misalnya, membahas tema berat seperti konspirasi, filosofi politik, dan propaganda kekuasaan. Naruto mengajarkan nilai kerja keras dan ketahanan mental. 

Bahkan, Vinland Saga menggali pelajaran tentang memaafkan dan melanjutkan hidup meski menghadapi tragedi besar. 

Melabeli penggemar karya seperti ini sebagai orang yang kekanak-kanakan jelas menunjukkan betapa minimnya pemahaman kita. 

Stigma ini tidak hanya salah, tetapi juga berbahaya. 

Ia menciptakan pengkotak-kotakan dalam masyarakat, memandang sebelah mata mereka yang memilih jalan hidup atau hiburan yang berbeda. 

Apakah ini adil? Saya rasa tidak. 

Anime: Medium Intelektual yang Sering Diremehkan

Anime sering dianggap sekadar hiburan, tetapi faktanya ia bisa menjadi medium pembelajaran yang kaya makna. 

Artikel dari Jurnal Ar-Raniry menunjukkan bahwa menonton anime dapat meningkatkan keterampilan bahasa Jepang dan membangun interaksi sosial. 

Selain itu, tidak sedikit komunitas wibu di Indonesia yang aktif berdiskusi tentang tema-tema berat dalam berbagai anime.

Pada tahun 2021, Prodi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga bahkan mengadakan kajian tentang nepotisme dalam Naruto. Diskusi ini membahas bagaimana politik di Desa Konoha mencerminkan praktik nepotisme di Indonesia. 

Ini membuktikan bahwa anime dapat menjadi bahan kajian akademis yang relevan, bukan sekadar tontonan ringan.

Komunitas seperti @pnmediaid di Instagram juga menunjukkan bahwa anime bisa dikaji dari berbagai sudut pandang keilmuan. 

Dari isu gender hingga fenomena sosial seperti friends with benefits, anime menawarkan lensa unik untuk memahami dinamika masyarakat. 

Bagi saya, ini menunjukkan bahwa anime bukan hanya hiburan, tetapi juga medium intelektual yang mampu merangsang diskusi kritis.

Mengapa Kita Perlu Menghapus Stigma?

Stigma terhadap wibu tidak hanya menyakitkan, tetapi juga mencerminkan resistensi masyarakat kita terhadap perubahan. 

Kita sering kali takut pada hal-hal yang tidak kita pahami, dan ini berlaku pada wibu. 

Preferensi mereka dianggap aneh hanya karena tidak sesuai dengan norma konvensional. Tapi apakah itu alasan yang cukup untuk menghakimi?

Menghapus stigma ini penting karena ia lebih dari sekadar membela satu komunitas. 

Penghapusan stigma adalah langkah menuju inklusivitas yang lebih besar. Dunia kita semakin global, dan budaya populer seperti anime adalah bagian dari proses ini. 

Menolak memahami wibu sama saja dengan menutup diri dari keberagaman budaya yang semakin mendominasi dunia.

Selain itu, stigma ini juga menghambat potensi individu. Banyak wibu yang merasa terisolasi karena takut dihakimi. 

Padahal, mereka memiliki bakat dan kemampuan yang luar biasa, dari keterampilan bahasa hingga pemahaman mendalam tentang isu sosial. 

Dengan menghapus stigma, kita memberi mereka ruang untuk berkembang dan berkontribusi pada masyarakat.

Pelajaran untuk Generasi Kita 

Jika Anda termasuk orang yang tumbuh tanpa kenal anime dan kartun Jepang, mungkin sulit untuk memahami daya tariknya.

Namun, itu tidak berarti kita boleh langsung menghakimi. 

Ketertarikan generasi muda pada anime adalah cerminan dari dunia yang semakin terbuka dan beragam. Kita bisa belajar banyak dari semangat mereka dalam mengeksplorasi budaya baru.

Bagi saya, memahami wibu bukan hanya tentang mengakui mereka, tetapi juga tentang membuka diri terhadap perspektif baru. 

Ini adalah pelajaran tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, bisa menjadi lebih inklusif dan menghargai keberagaman.

Kesimpulan

Stigma terhadap wibu adalah masalah yang lebih besar dari sekadar stereotip. Stigma ini mencerminkan ketidakmampuan kita untuk menerima keberagaman. 

Tapi hal ini bisa berubah, jika kita mau membuka hati dan pikiran. Wibu, dengan segala keunikannya, adalah bagian dari masyarakat kita.

Jadi, mari berhenti melabeli dan mulai memahami. Karena, pada akhirnya, keberagaman adalah kekuatan terbesar kita sebagai manusia. 

Siapa tahu, dengan belajar dari anime, kita juga bisa menemukan cara baru untuk memahami dunia dan diri kita sendiri.

Referensi:

  • Universitas Indonesia. (2024). Stigma terhadap penggemar budaya populer Jepang di Indonesia: Studi kasus komunitas wibu. Indonesian Research on Humanities and Social Science, 9(1).
  • Ar-Raniry Journal. (2024). Pengaruh anime terhadap keterampilan bahasa Jepang mahasiswa di Indonesia. Journal of Studies on Anime Impact, 5(2).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun