Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Olahraga Bukan Hanya untuk Mereka yang Mampu

25 November 2024   18:00 Diperbarui: 25 November 2024   18:02 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi olahraga sebagai simbol status (Gambar diolah dengan Dall-E) 

Olahraga, yang dulu menjadi kegiatan sederhana untuk menjaga kebugaran tubuh, kini semakin terasa eksklusif. Seiring dengan berkembangnya tren gaya hidup sehat, kita justru melihat fenomena yang sebaliknya. Olahraga kini menjadi simbol status, jauh dari tujuan awalnya untuk meningkatkan kesehatan. 

Dari sepatu lari bermerk hingga smartwatch canggih, banyak dari kita merasa terdorong untuk membeli perlengkapan mahal demi mendapatkan status sosial, bukannya berfokus pada manfaat kesehatan yang sesungguhnya.

Pandemi COVID-19 memang membawa banyak perubahan dalam cara kita beraktivitas. Salah satunya adalah meningkatnya kesadaran untuk berolahraga. 

Namun, kenyataannya, meski tren olahraga meningkat, ia juga berkembang menjadi hal yang lebih eksklusif. 

Olahraga sekarang tidak hanya menjadi aktivitas fisik, tetapi juga perlombaan untuk menunjukkan kemampuan finansial. 

Ini terlihat jelas pada tren konsumsi barang-barang olahraga yang mahal, seperti tumbler bermerk, sepatu olahraga yang harganya bisa mencapai jutaan, hingga smartwatch yang memantau setiap gerakan tubuh kita. 

Olahraga yang Semakin Mahal: Mengapa Ini Jadi Masalah?

Berdasarkan data dari Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dalam Laporan Indeks Pembangunan Olahraga (IPO) 2023, partisipasi masyarakat dalam olahraga terus menurun. 

Di tahun 2022, hanya 25,4% masyarakat yang aktif berolahraga, sebuah penurunan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. 

Salah satu alasan utama di balik penurunan ini adalah tingginya biaya yang diperlukan untuk terlibat dalam aktivitas olahraga. 

Menurut survei Jakpat yang dilakukan pada Januari 2024, sekitar 41% responden mengalokasikan anggaran khusus untuk mengikuti event olahraga, yang mencakup biaya transportasi, akomodasi, dan pembelian merchandise. 

Ini menunjukkan bahwa berolahraga kini melibatkan biaya tambahan yang sering kali tak terjangkau bagi sebagian besar masyarakat.

Peralatan olahraga bermerk, yang dulunya hanya opsional, kini seolah menjadi kewajiban. 

Mereka yang ingin ikut tren olahraga seringkali merasa terpaksa membeli barang-barang mahal untuk dapat terlihat berolahraga, meskipun tujuan utama mereka seharusnya adalah menjaga kebugaran tubuh. 

Misalnya, tumbler atau botol air yang harganya bisa mencapai ratusan ribu hingga satu juta rupiah, sepatu olahraga yang dirancang khusus dengan harga selangit, atau smartwatch yang menawarkan lebih dari sekedar fungsi dasar, namun lebih untuk status sosial. 

Di sinilah letak permasalahannya. Olahraga berubah dari kegiatan fisik yang bermanfaat untuk kesehatan menjadi ajang konsumsi barang-barang bermerk dan perasaan eksklusif.

Dampak Eksklusivitas terhadap Partisipasi Masyarakat

Ketika olahraga hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki dana lebih, kita mulai melihat semakin tingginya ketimpangan dalam partisipasi olahraga. 

Padahal, seperti yang kita ketahui, olahraga memiliki manfaat luar biasa untuk kesehatan fisik dan mental. 

Olahraga yang seharusnya menjadi kegiatan yang dapat dilakukan oleh siapa saja, kini hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu saja. 

Hal ini semakin diperburuk dengan rendahnya tingkat kebugaran jasmani di kalangan generasi muda Indonesia.

Laporan IPO 2023 menunjukkan bahwa hanya 5,04% remaja berusia 16-30 tahun yang memiliki kebugaran jasmani yang baik. 

Angka ini mencerminkan betapa rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam olahraga, meskipun olahraga kini telah menjadi tren di kalangan anak muda. 

Kebugaran jasmani yang rendah ini semakin memperburuk ketimpangan sosial, karena mereka yang kurang mampu sering kali terhambat dalam mengakses fasilitas olahraga yang memadai.

Fenomena ini juga berkaitan dengan fenomena FOMO (Fear of Missing Out) yang semakin mengemuka. 

Banyak orang yang berolahraga bukan untuk meningkatkan kesehatan mereka, tetapi lebih untuk ikut-ikutan atau karena dorongan sosial. 

Mereka merasa harus mengikuti tren yang ada, meskipun itu mungkin bukan pilihan yang bijak untuk kesehatan mereka. 

Olahraga menjadi kegiatan yang lebih berfokus pada prestise daripada manfaatnya yang sesungguhnya.

Mengembalikan Olahraga sebagai Hak Universal

Lalu, apakah kita akan terus membiarkan olahraga hanya menjadi milik mereka yang mampu? Tentu saja tidak. 

Untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang lebih sehat, kita perlu mengembalikan olahraga ke tujuan utamanya. 

Yaitu untuk meningkatkan kebugaran tubuh tanpa memandang status sosial. Olahraga harus menjadi hak universal yang dapat diakses oleh semua orang, tanpa ada batasan ekonomi.

Pemerintah dan komunitas olahraga perlu berkolaborasi menyediakan fasilitas olahraga publik yang lebih inklusif dan terjangkau. 

Salah satu langkah penting adalah mengurangi ketergantungan pada perlengkapan olahraga mahal, yang sebenarnya tidak esensial. Olahraga harus kembali ke esensinya, yaitu gerakan tubuh yang sederhana namun efektif.

Selain itu, influencer yang kini memiliki pengaruh besar dalam masyarakat bisa menjadi agen perubahan. 

Mereka bisa mendorong gaya hidup sehat dengan menunjukkan bahwa berolahraga tidak selalu membutuhkan peralatan mahal. 

Dengan mengedepankan aktivitas fisik yang sederhana, influencer dapat menginspirasi banyak orang untuk berolahraga tanpa harus terjebak dalam budaya konsumtif.

Kesimpulan

Olahraga seharusnya menjadi kebutuhan dasar, bukan sekadar hak bagi mereka yang mampu. 

Ketika kegiatan fisik ini beralih menjadi simbol status dan melibatkan biaya tinggi, yang terpinggirkan adalah mereka yang paling membutuhkan manfaatnya. 

Agar Indonesia lebih sehat, kita harus mengembalikan olahraga pada esensinya, yaitu untuk kebugaran semua orang, tanpa diskriminasi. 

Jangan biarkan olahraga menjadi ajang pamer gaya hidup, yang hanya bisa diakses oleh segelintir orang.

***

Referensi:

  • Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. (2023). Peran Indeks Pembangunan Olahraga dalam Pembangunan Nasional. Deputi 3 Kemenpora.
  • Antara News. (2024). APEC 2024 dan Inklusivitas Industri Olahraga Indonesia. Antara News.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun