Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Gen Z Menolak Hierarki Demi Keseimbangan Diri

24 November 2024   12:00 Diperbarui: 24 November 2024   12:05 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Gen Z sebagai middle management (Diolah dengan Dall-E) 

Pernahkah Anda mendengar keluhan tentang generasi muda yang cenderung menghindari posisi manajerial atau bahkan menolak kesempatan untuk naik jabatan? 

Fenomena yang dikenal sebagai conscious unbossing ini, semakin sering ditemui di berbagai perusahaan, terutama dengan kehadiran Generasi Z (Gen Z) di dunia kerja. 

Jika sebelumnya jabatan manajer dianggap sebagai pencapaian karier yang prestisius, kini pandangan itu tampaknya bergeser di mata generasi muda.

Gen Z, generasi yang dikenal karena kemampuan adaptasi tinggi terhadap teknologi dan keterbukaan terhadap inovasi, memiliki perspektif yang berbeda mengenai karier. 

Alih-alih melihat peran manajer tingkat menengah sebagai batu loncatan menuju jabatan yang lebih tinggi, mereka justru cenderung menghindari posisi tersebut. 

Dilansir dari Viva, lebih dari setengah dari generasi ini mengaku tidak berminat menduduki jabatan tersebut. 

Padahal, posisi ini berperan penting sebagai penghubung antara perencanaan strategis perusahaan dan pelaksanaan di lapangan. Mengapa hal ini terjadi?

Mengapa Gen Z Menolak Menjadi Manajer Menengah?

Berdasarkan data yang dihimpun dari berbagai penelitian, salah satu alasan utama di balik fenomena ini adalah tingginya tingkat kelelahan yang terkait dengan pekerjaan manajer menengah. 

Menurut penelitian Robert Walters, 69% Gen Z menganggap posisi manajer menengah terlalu menuntut dengan imbalan yang tidak sebanding. 

Tugas seorang manajer menengah yang harus mengelola tim, sekaligus menjadi penghubung antara kebijakan perusahaan dengan implementasi di lapangan, sering kali berujung pada stres dan kelelahan. 

Ini tentunya bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh Gen Z, yang lebih mengutamakan keseimbangan hidup, fleksibilitas, dan kemandirian dalam pekerjaan mereka.

Dalam budaya kerja yang semakin fleksibel saat ini, banyak generasi muda yang lebih memilih untuk bekerja dengan pola yang memungkinkan mereka memiliki kendali lebih besar atas waktu dan tugas yang mereka ambil. 

Gaya kerja yang mengutamakan kesejahteraan pribadi seperti bekerja jarak jauh (remote work) atau kerja hybrid semakin populer, terutama di kalangan anak muda. 

Hal ini tentu saja menjadi alasan mengapa banyak Gen Z memilih untuk menghindari posisi-posisi yang mereka anggap mengorbankan waktu dan kualitas hidup mereka.

Nilai-Nilai Gen Z yang Berbeda

Gen Z adalah generasi yang dikenal sangat kritis terhadap nilai-nilai yang diusung oleh dunia kerja. 

Mereka tidak hanya mengutamakan fleksibilitas, tetapi juga keberlanjutan, tanggung jawab sosial, dan kesetaraan. 

Hal ini terbukti dari hasil penelitian Talentics yang menunjukkan bahwa Gen Z memiliki tingkat keterbukaan terhadap pengalaman dan inovasi yang tinggi. 

Mereka lebih tertarik untuk berkembang dalam lingkungan yang mendukung pengembangan pribadi, bukan hanya sekadar mengejar posisi dan jabatan.

Namun, ketertarikan mereka terhadap fleksibilitas dan kesejahteraan pribadi ini bukan berarti mereka tidak memiliki ambisi atau keinginan untuk sukses. 

Sebaliknya, mereka memiliki aspirasi untuk menjadi pemimpin yang dapat menciptakan perubahan, namun dengan cara yang lebih seimbang dan manusiawi. 

Inilah mengapa banyak Gen Z yang lebih memilih untuk menghindari jabatan yang berisiko membawa mereka ke dalam rutinitas pekerjaan yang penuh tekanan.

Pengaruh terhadap Struktur Organisasi

Fenomena ini tentu tidak dapat dianggap remeh. Perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai ini berisiko kehilangan talenta muda yang berpotensi besar. 

Mengingat bahwa Gen Z merupakan bagian penting dari tenaga kerja masa depan, perusahaan perlu mulai memikirkan kembali struktur organisasi dan model kepemimpinan mereka. 

Jika perusahaan tetap mempertahankan model manajerial tradisional yang mengutamakan hirarki yang kaku, mereka mungkin akan kesulitan menarik dan mempertahankan bakat muda.

Dalam konteks yang lebih luas, tren ini sejalan dengan perubahan yang terjadi di banyak perusahaan besar, seperti Google dan Meta, yang mengurangi lapisan manajemen untuk menciptakan organisasi yang lebih efisien. 

Berdasarkan data dari Bloomberg, hampir sepertiga pemutusan hubungan kerja pada tahun 2023 terjadi pada posisi manajer menengah, yang menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan ini mulai mengurangi birokrasi demi meningkatkan efisiensi dan fleksibilitas operasional. 

Ini adalah sebuah tanda bahwa dunia kerja sedang mengalami perubahan besar, dan organisasi perlu cepat beradaptasi jika tidak ingin tertinggal.

Menyesuaikan Model Kepemimpinan untuk Masa Depan

Lantas, apa yang harus dilakukan oleh perusahaan? 

Sebagai sebuah solusi, peran manajer menengah masih bisa menjadi peluang yang berharga jika dimanfaatkan dengan bijak. 

Salah satu hal yang bisa diterapkan adalah menggunakan posisi ini untuk mengembangkan kesadaran diri dan keterampilan strategis. 

Menganggap posisi ini sebagai "inkubasi" kepemimpinan dapat membantu Gen Z mempersiapkan diri untuk jabatan yang lebih tinggi, dengan cara yang lebih fleksibel dan berfokus pada pengembangan pribadi.

Selain itu, perusahaan juga perlu menyesuaikan model kepemimpinan mereka agar lebih sejalan dengan kebutuhan generasi muda. 

Kepemimpinan yang lebih inklusif, yang memperhatikan keseimbangan hidup dan fleksibilitas, akan lebih menarik bagi Gen Z. 

Dengan melakukan ini, perusahaan tidak hanya akan mampu mempertahankan talenta terbaik, tetapi juga menciptakan budaya kerja yang lebih produktif dan sehat.

Kesimpulan

Keengganan Gen Z mengambil posisi manajer menengah mencerminkan pergeseran nilai dalam dunia kerja modern, di mana keseimbangan hidup dan fleksibilitas lebih diutamakan dibanding hierarki tradisional. 

Fenomena ini menantang perusahaan untuk beradaptasi, tidak hanya dalam cara mereka menawarkan peran, tetapi juga dalam menciptakan lingkungan kerja yang selaras dengan harapan generasi muda.

Jabatan manajer menengah tetap vital sebagai penggerak organisasi, namun relevansinya kini dipertanyakan.

Apakah perusahaan siap merombak struktur lama demi merangkul masa depan yang lebih inklusif dan fleksibel? 

Atau akankah dunia kerja terus berjalan di jalur tradisional, meninggalkan generasi muda mencari jalan mereka sendiri?

***

Referensi:

  • VIVA. (2024). Generasi Z menolak jadi bos: Tren 'conscious unbossing' dan alasan di baliknya. VIVA.
  • Talentics. (2024). Mengupas mitos Generasi Z di dunia kerja. Talentics.
  • Fortune Indonesia. (2024). Survei ungkap 72% Gen Z enggan jadi manajer. Fortune Indonesia.
  • Bloomberg. (2024). Impact of manager layoffs on middle management. Bloomberg.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun