Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Tax Amnesty, Janji Manis atau Ancaman Krisis

21 November 2024   18:00 Diperbarui: 21 November 2024   18:01 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi amnesti pajak (KOMPAS/SUPRIYANTO) 

Tax amnesty, atau pengampunan pajak, adalah kebijakan di mana pemerintah memberikan kesempatan kepada wajib pajak yang belum melaporkan atau membayar kewajibannya untuk melunasi pajak tertunda dengan denda lebih ringan dan tanpa sanksi hukum. 

Tujuannya jelas, ingin meningkatkan penerimaan pajak dan menopang keuangan negara. Namun, apakah kebijakan ini benar-benar efektif?

Melihat pengalaman sebelumnya, keraguan ini cukup beralasan. Berdasarkan Katadata, tax amnesty pertama pada 2016-2017 justru diikuti penurunan rasio pajak, indikator kunci pengelolaan pajak yang sehat. 

Pada 2015, rasio pajak tercatat 10,76%, tetapi pada 2017 angkanya turun menjadi 9,89%. Bukannya memperbaiki, hasilnya malah menunjukkan penurunan kinerja penerimaan pajak secara keseluruhan. 

Ini menjadi pertanda bahwa kebijakan tersebut mungkin tidak memberikan dampak yang diharapkan.

Kenapa Harus Skeptis?

Pemerintah sekarang merencanakan tax amnesty lagi, mungkin mulai dibahas pada 2025. Jaraknya hanya tiga tahun dari tax amnesty sebelumnya di 2022, yang dikenal sebagai Program Pengungkapan Sukarela (PPS). 

Apakah ini berarti pemerintah mulai kehabisan cara lain untuk meningkatkan penerimaan pajak?

Menurut saya, terlalu seringnya program ini justru memunculkan risiko moral. Kalau pajak terus diampuni, apa insentifnya bagi orang yang patuh? 

Jangan-jangan malah muncul pola pikir seperti ini: "Tidak apa-apa ngemplang pajak sekarang, toh nanti ada tax amnesty lagi."

Kritik ini juga datang dari para periset Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. Melansir MetroTV News, pengampunan pajak yang terlalu sering membuat kredibilitas otoritas pajak tergerus. 

Kepercayaan publik, terutama dari mereka yang sudah taat pajak, bisa menurun. Akhirnya, orang-orang yang seharusnya ikut berkontribusi malah semakin enggan, karena merasa tidak diperlakukan adil.

Data Bicara: Apa yang Salah?

Mari kita lihat data lagi. Pada 2022, tax amnesty jilid II memang berhasil mendongkrak rasio pajak hingga 10,39%, sebuah peningkatan kecil. 

Namun, pada 2023, angka ini kembali turun menjadi 10,2%. Apakah ini berarti tax amnesty hanya memberi efek sementara? Kemungkinan besar, ya.

Salah satu penyebab utamanya adalah pemerintah sepertinya lebih fokus pada pengejaran denda instan daripada memperbaiki sistem secara mendasar. 

Program ini seakan jadi jalan pintas untuk menambal defisit anggaran negara. Sementara itu, kapasitas pengelolaan pajak dan kepatuhan wajib pajak tidak benar-benar ditingkatkan.

Melihat ke negara lain, tax amnesty sebenarnya bukan hal baru. Italia, misalnya, pernah menerapkan program serupa. Awalnya sukses besar, tapi lama-kelamaan justru menimbulkan budaya tunggu pengampunan. 

Dampaknya, pendapatan pajak jangka panjang mereka malah tertekan. Apakah Indonesia ingin masuk ke perangkap yang sama? Jika iya, maka pemerintah perlu berpikir ulang.

Apa Solusinya?

Menurut saya, tax amnesty seharusnya menjadi solusi darurat, bukan strategi rutin. 

Ketika dilakukan terlalu sering, program ini kehilangan tujuannya dan malah menimbulkan ketidakadilan. Seperti yang dikatakan para pakar, diperlukan reformasi sistem perpajakan yang lebih komprehensif.

Langkah pertama adalah membuat sistem yang lebih sederhana dan transparan. 

Banyak orang yang sebenarnya ingin membayar pajak, tetapi terhalang oleh proses yang rumit. Kalau sistemnya dibuat lebih ramah pengguna, saya yakin kepatuhan pajak akan meningkat secara alami.

Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat penegakan hukum. 

Bukan hanya mengejar mereka yang belum bayar pajak, tetapi juga memastikan tidak ada yang bermain mata dengan otoritas. 

Kita butuh keadilan pajak yang bisa dirasakan semua orang, dari pengusaha besar hingga pedagang kecil.

Menguji Arah Baru Pajak Indonesia

Tax amnesty kerap tampak seperti solusi instan untuk menutup kekurangan penerimaan negara. Namun, jika ditelaah lebih dalam, kebijakan ini hanya menjadi tambal sulam sementara yang tidak menyentuh akar masalah. 

Selain itu, penerapan yang terlalu sering berisiko menggerus kredibilitas otoritas pajak dan menurunkan kepercayaan masyarakat. 

Apalagi, data menunjukkan bahwa tax amnesty sebelumnya justru diikuti stagnasi atau bahkan penurunan rasio pajak, yang mencerminkan ketidakmampuan sistem untuk berkembang secara berkelanjutan.

Pajak adalah fondasi utama yang menopang sebuah negara, dan keadilan dalam sistem perpajakan menjadi cerminan dari integritas sebuah pemerintahan. 

Reformasi yang menyeluruh diperlukan. Tidak hanya mengejar penerimaan instan, tetapi juga membangun sistem yang adil, sederhana, dan transparan. 

Ini adalah langkah mendesak, bukan hanya untuk menjaga keberlanjutan penerimaan negara, tetapi juga untuk memulihkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap kewajiban mereka.

Namun, apakah kita akan terus mengulang kebijakan yang sama dan berharap hasil yang berbeda, atau akhirnya mengambil langkah nyata untuk menciptakan sistem pajak yang benar-benar adil dan berkelanjutan?

***

Referensi:

  • Katadata. (n.d.). Sejarah pengampunan pajak di Indonesia: Dari masa ke masa.
  • MetroTV News. (2024). Tax amnesty berjilid-jilid bisa ganggu kredibilitas perpajakan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun