Mari kita lihat data lagi. Pada 2022, tax amnesty jilid II memang berhasil mendongkrak rasio pajak hingga 10,39%, sebuah peningkatan kecil.Â
Namun, pada 2023, angka ini kembali turun menjadi 10,2%. Apakah ini berarti tax amnesty hanya memberi efek sementara? Kemungkinan besar, ya.
Salah satu penyebab utamanya adalah pemerintah sepertinya lebih fokus pada pengejaran denda instan daripada memperbaiki sistem secara mendasar.Â
Program ini seakan jadi jalan pintas untuk menambal defisit anggaran negara. Sementara itu, kapasitas pengelolaan pajak dan kepatuhan wajib pajak tidak benar-benar ditingkatkan.
Melihat ke negara lain, tax amnesty sebenarnya bukan hal baru. Italia, misalnya, pernah menerapkan program serupa. Awalnya sukses besar, tapi lama-kelamaan justru menimbulkan budaya tunggu pengampunan.Â
Dampaknya, pendapatan pajak jangka panjang mereka malah tertekan. Apakah Indonesia ingin masuk ke perangkap yang sama? Jika iya, maka pemerintah perlu berpikir ulang.
Apa Solusinya?
Menurut saya, tax amnesty seharusnya menjadi solusi darurat, bukan strategi rutin.Â
Ketika dilakukan terlalu sering, program ini kehilangan tujuannya dan malah menimbulkan ketidakadilan. Seperti yang dikatakan para pakar, diperlukan reformasi sistem perpajakan yang lebih komprehensif.
Langkah pertama adalah membuat sistem yang lebih sederhana dan transparan.Â
Banyak orang yang sebenarnya ingin membayar pajak, tetapi terhalang oleh proses yang rumit. Kalau sistemnya dibuat lebih ramah pengguna, saya yakin kepatuhan pajak akan meningkat secara alami.
Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat penegakan hukum.Â