Hal yang sama berlaku untuk OTT. Kasus korupsi besar seperti pencucian uang atau penggelapan dana negara tidak selalu bisa langsung diungkap.Â
Ada proses yang dimulai dari hal kecil, misalnya pejabat menerima suap di ruang tertutup. Tanpa OTT, banyak pintu masuk seperti ini yang akan hilang.
Namun, saya juga paham kekhawatiran Johanis Tanak. Kalau OTT dilakukan sembarangan, risikonya besar.Â
Bayangkan jika OTT digunakan untuk menjatuhkan lawan politik atau menciptakan opini publik yang tidak adil. Bukankah ini juga berbahaya?Â
Maka, menurut saya, jalan tengahnya adalah memperbaiki prosedur OTT agar sesuai dengan hukum. Jika dikelola dengan baik, OTT bisa tetap menjadi alat yang efektif tanpa melanggar aturan.
Kesimpulan
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi bukanlah tugas eksklusif KPK, tetapi tanggung jawab bersama seluruh elemen masyarakat.Â
Kita harus terus mengawasi, memberikan dukungan, dan menyuarakan kritik yang konstruktif demi memperkuat upaya pemberantasan korupsi.Â
OTT, meski memiliki kelemahan, tetap menjadi salah satu alat penting dalam menangkap pelaku korupsi secara langsung dan memberikan efek jera yang nyata.
Namun, pertanyaannya bukan hanya tentang mempertahankan atau menghapus OTT.Â
Isu ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki prosedur dan memastikan kesesuaian dengan hukum, tanpa mengurangi efektivitasnya sebagai alat pemberantasan korupsi.Â
Di negara seperti Indonesia, di mana korupsi terus menjadi ancaman besar, setiap alat yang tersedia harus digunakan secara bijak dan optimal.