Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kecurangan Seleksi Guru PPPK Hambat Kemajuan Pendidikan yang Adil

20 November 2024   06:06 Diperbarui: 20 November 2024   06:06 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita tentang kecurangan dalam seleksi guru PPPK memunculkan keprihatinan mendalam. Guru honorer, yang selama bertahun-tahun berjuang dengan gaji minim untuk mendidik generasi muda, kini harus menghadapi kenyataan pahit. Sistem yang seharusnya memperbaiki kesejahteraan mereka justru dirusak oleh praktik tidak adil.

Program ini awalnya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan mutu pendidikan. 

Namun, di lapangan, kecurangan seperti percaloan dan manipulasi data terjadi. Beberapa kepala sekolah, pejabat daerah, dan pihak lain yang tidak terkait langsung dengan pendidikan memanfaatkan kelemahan sistem ini untuk keuntungan pribadi. 

Seleksi yang seharusnya adil berubah menjadi ajang eksploitasi, melukai niat awal pemerintah dan merugikan mereka yang benar-benar berkompeten. Fenomena ini tidak hanya mencederai guru honorer tetapi juga integritas pendidikan nasional.

Guru Honorer: Pejuang yang Diabaikan

Guru honorer sudah lama menjadi tulang punggung pendidikan kita, terutama di daerah pelosok. Dengan gaji yang kadang hanya cukup untuk ongkos, mereka tetap menjalankan tugasnya. 

Menurut laman Indonesia.go.id, pada tahun 2020, jumlah guru non-PNS di Indonesia mencapai 937.228 orang, dengan 728.461 di antaranya berstatus guru honorer sekolah. Banyak di antaranya bergaji di bawah standar. 

Apa yang membuat mereka bertahan? Dedikasi.

Namun, bagaimana rasanya jika bertahun-tahun mengabdi, mereka justru disingkirkan oleh peserta seleksi yang membayar suap? 

Praktik ini tidak hanya melukai hati para guru, tapi juga membahayakan pendidikan anak-anak kita. Guru yang masuk tanpa kualifikasi memadai akan berdampak langsung pada kualitas pembelajaran di kelas.

Menjual Mimpi, Menggadai Moral

Kecurangan dalam seleksi ini tidak hanya dilakukan dengan satu cara. 

Melansir dari Harian Kompas, di Langkat, Sumatera Utara, misalnya, kepala sekolah meminta uang hingga Rp 50 juta dari guru yang ingin lolos seleksi. 

Di Batu Bara, pejabat Dinas Pendidikan terlibat dalam percaloan serupa. Angka yang diminta bervariasi, tetapi semuanya jauh di luar jangkauan para guru honorer yang hanya memiliki penghasilan terbatas.

Bayangkan guru yang tidak pernah mengajar tiba-tiba lolos, sementara yang bertahun-tahun mendidik anak-anak dengan sepenuh hati, justru terpinggirkan. 

Fenomena ini adalah cermin dari ketimpangan sosial yang kita hadapi. Bukan hanya soal korupsi, tapi juga soal bagaimana nilai keadilan semakin pudar dalam sistem pendidikan kita.

Dampak yang Jauh Lebih Luas

Dampak kecurangan ini jauh lebih dalam dari sekadar kerugian bagi guru yang gagal lolos. Pendidikan adalah fondasi bangsa. Jika fondasinya rapuh, apa yang bisa diharapkan dari generasi mendatang? 

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, mengingatkan bahwa guru hasil kecurangan adalah cerminan buruk bagi siswa. Jika integritas guru diragukan, bagaimana mereka bisa menjadi teladan bagi anak-anak?

Lebih jauh lagi, kualitas pendidikan nasional pun ikut terpuruk. Guru yang tidak kompeten akan sulit menginspirasi murid untuk berpikir kritis, berinovasi, dan berkembang. Ini bukan hanya soal pendidikan, tapi soal masa depan bangsa.

Tidak ada yang lebih mahal dari kerugian kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan. Jika masyarakat sudah tidak percaya lagi, maka usaha pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan akan sia-sia.

Solusi: Reformasi dan Pengawasan Ketat

Lalu, apa yang harus kita lakukan? 

Menutup mata terhadap masalah ini jelas bukan pilihan. Reformasi mendalam dalam sistem seleksi guru PPPK sangat mendesak. 

Seleksi berbasis meritokrasi, di mana peserta dipilih berdasarkan kompetensi dan pengalaman, harus ditegakkan. 

Selain itu, pengawasan yang lebih ketat, termasuk pelibatan lembaga independen, perlu dilakukan untuk memastikan proses berjalan transparan.

Sanksi tegas juga harus diberikan kepada mereka yang terlibat dalam praktik kecurangan ini. 

Tidak ada alasan untuk membiarkan pelaku berjalan bebas. 

Ini adalah bentuk penghormatan terhadap guru-guru honorer yang telah lama mengabdi dengan jujur dan penuh dedikasi.

Selain itu, perhatian terhadap kesejahteraan guru honorer juga perlu ditingkatkan. 

Jika pemerintah benar-benar serius mengurangi kecurangan, langkah awalnya adalah mengurangi tekanan finansial yang membuat guru-guru rentan terhadap eksploitasi.

Menjaga Harapan dan Kepercayaan Publik

Sebagai masyarakat, kita memegang peran penting dalam menjaga keadilan dan integritas pendidikan. 

Mendukung guru yang jujur dan kompeten adalah langkah nyata untuk memperbaiki sistem. 

Seleksi guru PPPK bukan sekadar soal reformasi birokrasi, tetapi juga menjaga kepercayaan publik, menghargai perjuangan guru, dan memastikan pendidikan berkualitas untuk generasi mendatang.

Pendidikan yang kuat hanya mungkin dengan guru yang berintegritas, bukan mereka yang lolos karena kecurangan. 

Jika sistem ini terus dibiarkan, bagaimana masa depan anak-anak kita? 

Apakah kita rela membiarkan pendidikan bangsa digerogoti oleh ketidakadilan?

***

Referensi:

  • Kompas.id (2024) Bagaimana Seleksi Guru Jadi Ajang Bancakan di Daerah? 
  • Tribun Medan. (2024, Oktober 22). Pembongkar kecurangan seleksi PPPK guru di Langkat buat laporan ke Komnas HAM.
  • Indonesia.go.id. (2020). Menuju jumlah guru ideal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun