Saya sering kali termenung setiap kali mendengar berita tentang dunia pendidikan di Indonesia. Rasanya, ada sesuatu yang tidak pas.Â
Salah satunya adalah fokus yang terlalu besar pada keterampilan teknis, seolah-olah universitas kita hanyalah pabrik untuk mencetak tenaga kerja siap pakai.Â
Bukankah seharusnya pendidikan tinggi lebih dari itu?
Pikiran ini semakin kuat ketika saya membaca opini Siti Murtiningsih, di Harian Kompas, yang membahas tentang paradigma pendidikan tinggi di Indonesia.Â
Ia menyoroti pendekatan vokasional yang mendominasi sistem pendidikan kita saat ini, yang ironisnya justru melemahkan kreativitas, daya kritis, dan kemampuan berpikir logis mahasiswa.Â
Saya setuju sekali dengan pandangan ini. Pendidikan tinggi, mestinya, tidak hanya mempersiapkan kita untuk bekerja tetapi juga untuk hidup secara bermakna.
Kritik terhadap Pendidikan Vokasional: Menjaga Esensi Pendidikan Tinggi
Fokus yang terlalu besar pada keterampilan praktis sering kali membuat kita lupa pada esensi pendidikan tinggi itu sendiri.Â
Mahasiswa disibukkan dengan magang atau pelatihan kerja sampai mereka kehilangan waktu untuk bertanya, "Apa makna dari apa yang saya pelajari?"Â
Padahal, menurut penelitian PISA 2018, kemampuan berpikir kritis siswa Indonesia masih berada dalam kategori sedang. Artinya, ruang untuk pengembangan kemampuan ini masih sangat besar.
Salah satu dampak buruk dari paradigma vokasional adalah kurangnya ruang untuk berpikir kreatif. Kreativitas itu seperti otot, ia hanya tumbuh jika sering dilatih.Â
Namun, bagaimana bisa kreativitas berkembang jika kita hanya fokus pada "bagaimana melakukan" tanpa pernah bertanya "mengapa melakukan"?Â