Akses ke modal menjadi masalah yang menghantui, terutama saat kondisi ekonomi tidak menentu.Â
Laman dari Liputan6Â (2024) menyoroti bahwa keterbatasan ini membuat banyak usaha mikro kesulitan untuk bertahan, apalagi berkembang.Â
Banyak pedagang seperti Soleh harus mengandalkan tabungan pribadi atau pinjaman informal dengan bunga tinggi, yang bisa menjadi beban tambahan.
Digitalisasi: Pedang Bermata Dua
Di era digital, banyak bisnis beralih ke platform online untuk menjangkau lebih banyak pelanggan. Tapi untuk pedagang seperti Soleh, transisi ke digitalisasi bukan hal yang mudah.Â
Keterbatasan pengetahuan teknologi, ditambah biaya perangkat digital dan jaringan, membuat banyak dari mereka terjebak di jalur tradisional. Padahal, dengan bantuan teknologi sederhana, potensi penghasilan mereka bisa meningkat signifikan. Dukungan pemerintah dalam hal ini sangat dibutuhkan, agar pelatihan dan fasilitas akses teknologi menjadi lebih inklusif bagi UMKM.
Ketika bicara soal digitalisasi, saya teringat program seperti UMKM Go Digital atau program lain yang yang diinisiasi pemerintah untuk menghubungkan UMKM dengan pasar digital.Â
Meskipun langkah ini bagus, realitas di lapangan menunjukkan implementasinya belum merata. Beberapa pedagang bahkan merasa skeptis terhadap manfaat nyata yang mereka dapatkan.
Mengapa Kita Harus Peduli?
Mengapa kita harus peduli dengan para penjual ketupat sayur dan usaha kecil lainnya? Jawabannya sederhana, mereka adalah fondasi ekonomi perkotaan.Â
Tanpa keberadaan mereka, stabilitas ekonomi mikro di kota besar seperti Jakarta bisa terganggu. Tidak hanya itu, mereka juga memainkan peran penting dalam menjaga solidaritas sosial.Â
Seperti kata Tantan Hermansah, sosiolog UIN Jakarta, pedagang ini menjadi buffer bagi kebutuhan dasar pekerja kelas menengah, memungkinkan mereka tetap berhemat sambil memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam jangka panjang, keberlanjutan usaha mikro ini membantu mengurangi disparitas ekonomi dan menciptakan lapangan kerja.Â