Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Mike Tyson Melawan Waktu, Jake Paul Melawan Nama

17 November 2024   14:00 Diperbarui: 18 November 2024   10:13 352
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Legenda kelas berat, Mike Tyson, dan YouTuber Jake Paul. (NETFLIX via KOMPAS) 

Mike Tyson, sosok yang dulu dianggap “Pria Terjahat di Planet”, kini berdiri di atas ring melawan Jake Paul, seorang influencer muda yang lebih terkenal karena video di internet daripada prestasi di olahraga

Bagi penggemar tinju sejati, momen ini seperti menonton seorang maestro bermain piano yang harus bersaing dengan DJ amatir di sebuah festival musik. 

Pertanyaannya, apakah olahraga seperti tinju kini telah berubah arah menjadi semata hiburan massal?

Antara Hiburan dan Kompetisi Sejati  

Pertandingan antara Tyson dan Paul pada 16 November 2024 lalu di Texas memberikan kita gambaran baru tentang bagaimana olahraga bisa berubah menjadi strategi pemasaran. 

Aturan pertandingan, seperti penggunaan sarung tinju 14 ons yang lebih berat dari standar profesional, jelas menunjukkan bahwa duel ini lebih mengutamakan keamanan dan hiburan daripada esensi kompetisi. 

Hasilnya? Tyson, yang kini berusia 58 tahun, terlihat seperti “bison tua” yang dijadikan samsak hidup oleh Paul.

Jika kita tarik dalam konteks masyarakat Indonesia, hal ini mengingatkan pada tren acara tinju selebriti seperti Superstar Knockout. Dalam acara ini, tinju berubah menjadi panggung selebriti untuk menarik penonton, daripada menjadi arena adu keterampilan. 

Fenomena ini menunjukkan bahwa olahraga tidak lagi hanya soal kompetisi, tapi juga soal popularitas dan uang.  

Kenapa Ini Terjadi?  

Menurut Yanuar Kiram dalam jurnal Industrialisasi dan Komersialisasi dalam Olahraga (2017), komersialisasi olahraga merupakan dampak langsung dari globalisasi, di mana fokus olahraga bergeser dari prestasi atletik menjadi keuntungan finansial. 

Olahraga, yang dulunya murni soal prestasi atletik, kini berubah menjadi industri hiburan. Kasus pertandingan Tyson-Paul adalah contoh nyata. 

Bayaran Tyson yang mencapai 20 juta USD menjadi indikator jelas bagaimana hiburan lebih dihargai daripada warisan prestasi. 

Jake Paul sendiri, meskipun bukan petinju profesional, memiliki basis pengikut media sosial yang besar, menjadikannya kandidat sempurna untuk mengubah ring tinju menjadi panggung konten.  

Apa Dampaknya bagi Olahraga?  

Jangka panjangnya, kita perlu khawatir bahwa komersialisasi seperti ini bisa melemahkan nilai olahraga sejati. 

Ketika popularitas lebih penting daripada kemampuan teknis, olahraga bisa kehilangan esensinya sebagai ajang kompetisi yang mendidik dan inspiratif. 

Di Indonesia, kita melihat dampaknya dalam bentuk munculnya “pertandingan hiburan” yang menomorduakan keterampilan atletik. 

Namun, kita juga harus realistis. Dalam era digital, olahraga tanpa hiburan mungkin akan sulit bertahan. Penonton saat ini tidak hanya ingin melihat adu ketangkasan, tetapi juga drama dan narasi yang menyertainya. 

Mungkin ini alasan mengapa banyak acara olahraga kini disiarkan di platform streaming seperti Netflix, sebagaimana pertandingan Tyson-Paul yang menjadi bagian dari konten platform tersebut.  

Harapan dan Solusi  

Lantas, bagaimana cara kita menjaga keseimbangan antara hiburan dan integritas olahraga? 

Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan membatasi aturan untuk pertandingan eksibisi seperti ini. Misalnya, pastikan hanya atlet yang benar-benar kompeten yang boleh bertanding di bawah aturan resmi. 

Selain itu, asosiasi olahraga perlu lebih proaktif dalam membedakan acara eksibisi untuk hiburan dan pertandingan kompetisi untuk prestasi.

Di sisi lain, kita juga bisa belajar dari olahraga tradisional Indonesia seperti pencak silat. Meskipun silat sering dimodernisasi untuk kebutuhan film atau pertunjukan, komunitas silat tetap menjaga esensi spiritual dan teknisnya melalui kejuaraan resmi. 

Ini bisa menjadi contoh bagaimana kita tetap bisa menjaga keseimbangan antara hiburan dan keaslian olahraga.  

Kesimpulan  

Melihat Tyson tersenyum bahagia setelah pertandingan, meskipun kalah, menunjukkan bahwa dia menerima realitas olahraga modern: semuanya ada harganya. 

Tapi kita sebagai penonton juga punya pilihan. Apakah kita ingin terus mendukung pertunjukan yang lebih mirip sirkus atau kembali ke akar olahraga sejati?

Pertanyaan ini tidak hanya berlaku untuk tinju, tetapi juga untuk semua cabang olahraga. Sebagai netizen yang peduli, mungkin sudah waktunya kita lebih selektif mendukung acara olahraga yang benar-benar mempertahankan integritasnya. 

Jadi, mari kita bertanya pada diri sendiri: apa yang sebenarnya kita cari dari olahraga, hiburan atau inspirasi?

***

Referensi:

  • Fajar.co.id. (2024, November 15). Pertandingan Mike Tyson vs Jake Paul akan digelar hari ini: Berikut jadwal dan cara nontonnya. 
  • Bola.com. (2024, November 7). Superstar Knockout kembali digelar: Diramaikan selebriti papan atas Indonesia.
  • Kompas.com. (2021, October 19). Manfaat globalisasi di bidang olahraga. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun