Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gelar Mentereng di Tengah Keterpurukan Lapangan Kerja

14 November 2024   20:00 Diperbarui: 15 November 2024   09:45 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa waktu terakhir, publik di Indonesia dikejutkan oleh berita mengenai gelar doktor yang diperoleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Bahlil Lahadalia, serta presenter terkenal, Raffi Ahmad. 

Kontroversi ini bukan hanya sekadar tentang gelar akademik, tetapi mencerminkan masalah yang lebih dalam dalam sistem pendidikan kita. 

Gelar akademik seharusnya menjadi cerminan kompetensi dan pengetahuan seseorang, bukan sekadar simbol status sosial. 

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pendidikan tinggi di Indonesia sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan pasar kerja.

Pendidikan Tinggi dan Status Sosial

Sejak lama, pendidikan tinggi di Indonesia dianggap sebagai puncak prestasi. Masyarakat percaya bahwa memiliki gelar akademik akan membuka pintu kesempatan kerja dan meningkatkan status sosial. 

Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, tingkat pengangguran terbuka di kalangan lulusan sarjana mencapai 5,18%, meningkat dari tahun sebelumnya. 

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkan gelar tinggi, kenyataannya tidak semua dari mereka mendapatkan pekerjaan yang layak.

Kita sering melihat politisi dan pejabat publik yang bangga dengan gelar akademik mereka. Namun, pertanyaannya adalah, apakah mereka benar-benar memiliki kapasitas untuk menjalankan tugas mereka? 

Dalam kasus Bahlil Lahadalia, kelulusan yang cepat dan dugaan plagiarisme dalam disertasinya memicu pertanyaan tentang integritas akademik. 

Apakah gelar doktor yang ia peroleh benar-benar mencerminkan kemampuannya sebagai pemimpin? Atau hanya sekadar formalitas untuk meningkatkan legitimasi jabatan?

Kesenjangan antara Pendidikan dan Pasar Kerja

Kenyataan pahit lainnya adalah bahwa banyak lulusan dengan gelar tinggi kesulitan menemukan pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka. 

Data dari Populix pada 2024 menunjukkan bahwa 63% pencari kerja merasa kesulitan memenuhi syarat pengalaman kerja yang dibutuhkan. Ini menciptakan ketidakcocokan antara pendidikan yang diterima dan kebutuhan pasar. Banyak perusahaan lebih memilih kandidat dengan pengalaman daripada sekadar gelar akademik.

Di sisi lain, privilese sosial juga memainkan peran penting dalam mendapatkan pekerjaan.

Mereka yang berasal dari keluarga mampu atau memiliki koneksi sering kali lebih mudah mendapatkan posisi yang baik dibandingkan dengan mereka yang berjuang sendiri. Hal ini semakin memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin dalam akses pendidikan dan pekerjaan.

Perlunya Transformasi Paradigma Pendidikan

Melihat fenomena ini, sudah saatnya kita melakukan transformasi paradigma pendidikan di Indonesia. 

Pendidikan tinggi seharusnya tidak hanya dilihat sebagai jalan untuk meraih status sosial atau jabatan, tetapi juga sebagai sarana untuk mengembangkan kapasitas individu dan masyarakat. 

Ki Hajar Dewantara pernah berkata, "Pendidikan sejati adalah pendidikan yang mengajarkan kita untuk hidup bersama." 

Ini berarti pendidikan harus mampu membekali individu dengan keterampilan dan pengetahuan yang relevan untuk menghadapi tantangan sosial.

Pendidikan harus berfungsi sebagai alat pemberdayaan sosial. Kita perlu memastikan bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang tanpa terhalang oleh status sosial atau ekonomi. 

Dengan demikian, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.

Kesimpulan

Kontroversi mengenai gelar doktor Bahlil Lahadalia dan Raffi Ahmad adalah pengingat bagi kita semua tentang pentingnya integritas dalam pendidikan. 

Gelar akademik seharusnya mencerminkan kemampuan nyata seseorang dan bukan sekadar formalitas untuk mendapatkan jabatan. 

Dengan melakukan reformasi dalam sistem pendidikan kita, kita dapat memastikan bahwa pendidikan tinggi tidak hanya menjadi simbol status tetapi juga alat pemberdayaan bagi semua lapisan masyarakat.

Mari kita renungkan, apakah kita ingin melanjutkan tradisi pendidikan yang hanya mengutamakan status sosial? 

Atau kita siap untuk berjuang demi pendidikan yang lebih inklusif dan relevan dengan kebutuhan zaman? Keputusan ada di tangan kita semua.

***

Referensi:

  • Kadin. (n.d.). Data dan statistik ketenagakerjaan.
  • Forbes. (2024, Mei 13). 4 ways college degrees are still relevant in 2024.
  • Antara News. (2023). Qualification skills mismatch ailing job market, says study.
  • FAWCO. (n.d.). Bridging the gap between education & employment: The future youth face in present times.
  • OECD. (2024, September). Educational attainment and labour market outcomes are improving, but more is needed on equality of opportunities.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun