Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Ujian Nasional atau Uji Nasib? Pendidikan Adil dan Merata Dulu, Bung!

13 November 2024   15:34 Diperbarui: 13 November 2024   15:35 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Topik pendidikan nasional dan permasalahannya, selalu bikin pikiran  kita tergelitik. Dari dulu sampai sekarang, selalu saja ada diskusi yang hangat. 

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah merencanakan untuk mengkaji ulang kebijakan Ujian Nasional (UN). Mereka mempertimbangkan kemungkinan mengembalikan UN. 

Tapi, bagi saya, ide ini mengundang lebih banyak tanya daripada jawab. 

Apakah ini solusi yang benar-benar kita butuhkan? Ataukah ini hanya akan membawa kita kembali pada masalah-masalah lama yang sudah sempat kita atasi?

Mari kita lihat, kenapa mengembalikan UN mungkin bukanlah langkah terbaik.

Beban Psikologis dan Dampak Negatif pada Siswa

Pertama-tama, kita perlu bicara soal dampak UN terhadap psikologis siswa. 

Kita tidak bisa pungkiri, UN pernah menjadi sumber stres yang luar biasa bagi banyak siswa. 

Bayangkan saja, anak-anak kita harus memikul beban kelulusan di atas pundak mereka melalui satu ujian besar. 

Apa akibatnya? Tekanan ini kadang membuat mereka lupa pada hal-hal penting lainnya, seperti belajar memahami, bukan sekadar menghafal.

Dulu, ketika UN menjadi standar kelulusan, kita melihat sendiri bagaimana praktik kecurangan muncul di sana-sini. 

Dari jual beli kunci jawaban oleh banyak oknum yang disinyalir mafia, hingga lembaga bimbingan belajar yang muncul demi memastikan kelulusan. 

Sayangnya, semua ini tidak mencerminkan peningkatan mutu pendidikan, tapi justru menunjukkan betapa sistem tersebut gagal mendidik anak-anak kita secara utuh. 

Berdasarkan data dari Kompas (2024), salah satu alasan dihapusnya UN adalah karena hal-hal ini. Beban mental yang berlebihan dan kecurangan yang muncul akibat sistem penilaian tunggal.

Ketidakadilan dalam Akses Pendidikan

Kita tidak bisa menutup mata pada kenyataan bahwa setiap daerah di Indonesia memiliki kondisi pendidikan yang berbeda. 

Di kota-kota besar mungkin fasilitas sekolah sudah memadai. Tapi bagaimana dengan sekolah-sekolah di daerah terpencil? 

Pihak yang mendukung Ujian Nasional ini minimal googling deh, tentang realita belajar mengajar, fasilitas, dan infrastruktur pengajaran di daerah timur Indonesia. 

Apakah anak-anak di pelosok negeri bisa mengikuti UN dengan persiapan dan fasilitas yang sama dengan anak-anak di kota? Jelas, tidak.

Menggunakan UN sebagai standar penilaian yang sama bagi semua siswa di seluruh Indonesia sangat tidak adil. 

Anak-anak di daerah yang kurang fasilitas akan kesulitan mengejar standar yang sama dengan mereka yang belajar di sekolah lengkap dengan fasilitas komputer dan akses internet. 

Dilansir dari Kompas (2024), di Kupang, siswa itu sampai harus naik kendaraan pikap sambil membawa genset untuk mencari sinyal internet demi mengikuti pembelajaran daring. 

Hal ini menimbulkan ketidaksetaraan dalam akses pendidikan, dan akhirnya menciptakan jurang yang semakin lebar antar siswa. 

Keprihatinan ini menjadi salah satu alasan kuat mengapa UN pernah dihapuskan.

Asesmen Nasional sebagai Alternatif yang Lebih Holistik

Ketika kita berbicara tentang Asesmen Nasional (AN), sebenarnya ada beberapa aspek penting yang ingin dicapai, berbeda dengan apa yang disasar oleh Ujian Nasional (UN). 

Komponen AN tidak hanya berfokus pada hasil akhir berbasis angka atau peringkat, tetapi justru mengevaluasi keterampilan inti yang relevan dengan kebutuhan pendidikan di abad ke-21. 

AN dirancang untuk mencakup tiga komponen utama: literasi, numerasi, dan pengembangan karakter.

Komponen literasi dan numerasi menjadi dasar, bukan hanya untuk mengukur kemampuan membaca dan berhitung, tapi juga pemahaman kritis dalam membaca informasi serta pemecahan masalah matematis dalam konteks kehidupan nyata. 

Literasi bukan sekadar tentang membaca teks buku, tetapi juga memahami berbagai jenis informasi yang bertebaran di dunia digital saat ini. 

Dalam numerasi, siswa bukan hanya diuji dalam menghitung, tetapi juga dalam menerapkan matematika dalam konteks sehari-hari, misalnya dalam pengelolaan uang atau memahami data.

Di samping itu, pengembangan karakter dalam AN mengukur aspek-aspek soft skills seperti kejujuran, rasa tanggung jawab, serta kemampuan untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan orang lain. 

Inilah yang membuat AN lebih holistik, karena menyasar keterampilan hidup yang sangat dibutuhkan siswa dalam menghadapi dunia kerja di masa depan.

Pendekatan ini menawarkan manfaat yang langsung dirasakan oleh siswa, guru, dan orang tua. 

Bagi siswa, AN mengurangi tekanan ujian yang semata-mata berorientasi pada nilai angka. Mereka lebih terdorong untuk memahami konsep daripada menghafal. Hal ini juga membuka ruang bagi mereka untuk mengembangkan kemampuan kreatif dan analitis. 

Bagi guru, AN menawarkan panduan yang lebih jelas mengenai kekuatan dan kelemahan siswa, sehingga mereka bisa menyesuaikan metode pengajaran yang lebih efektif dan relevan.

Dampak AN ini juga dirasakan oleh orang tua. Dengan evaluasi yang lebih komprehensif, orang tua bisa melihat perkembangan anaknya tidak hanya dari nilai akademis, tetapi juga dari sisi karakter dan keterampilan hidup.

Pendidikan untuk Semua

Pada akhirnya, ketika kita bicara soal pendidikan, kita tidak bisa hanya fokus pada nilai dan prestasi akademik. Pendidikan harus menjadi alat untuk mencerdaskan seluruh anak bangsa, tanpa kecuali.

Menurut saya, pertanyaannya bukan apakah UN sebaiknya dihadirkan kembali atau tidak. 

Pertanyaannya adalah, bagaimana kita bisa memastikan setiap anak Indonesia, dari Sabang sampai Merauke, mendapatkan kualitas pengajaran dan fasilitas pembelajaran yang sama. 

Kita harus berpikir lebih jauh. Bagaimana memastikan pendidikan yang merata dan akses yang adil bagi semua siswa di seluruh pelosok negeri?

Mengembalikan UN berisiko mengulang masalah-masalah yang telah kita lewati. Mengembalikan sebuah sistem yang memicu stres dan ketidaksetaraan bukanlah jawaban. 

Yang kita butuhkan adalah memperkuat metode penilaian yang bisa mengakomodasi semua siswa, tanpa terkecuali.

Dalam kesimpulannya, kita tidak memerlukan sebuah "ujian besar" dalam kurikulum nasional untuk menentukan masa depan anak-anak kita. 

Kita lebih butuh sistem yang menilai anak-anak kita dari berbagai sisi. Membantu mereka berkembang sesuai potensi masing-masing.

***

Referensi:

  • Antara News. (2024). Berikut kronologi dan alasan dihapusnya Ujian Nasional.
  • Kompas. (2024, 31 Oktober). Perlukah Ujian Nasional kembali diadakan? Ini pendapat pakar.
  • Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. (2024). Nadiem: Asesmen Nasional sempurnakan sistem evaluasi pendidikan Indonesia.
  • Kompas. (2024, 12 Juli). 3 tantangan pendidikan di Kupang, NTT dan upaya kemitraan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun