Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dari Gelap Kolong Jembatan, Memupuk Asa Rumah yang Layak

11 November 2024   14:57 Diperbarui: 11 November 2024   21:21 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lorong pemukiman warga yang berada di Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2024). (KOMPAS/SHINTA DWI AYU) 

Hidup di bawah kolong jembatan bukanlah kehidupan yang mudah untuk dibayangkan, apalagi dijalani. 

Di Jakarta, tepatnya di Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, ada sekelompok orang yang harus hidup di sana, bukan karena pilihan, tetapi karena keadaan. 

Dilansir Kompas (2024), Jumiati, salah satu dari mereka, telah bertahan hidup selama 26 tahun di sana bersama keluarganya. Di tempat yang sempit, gelap, dan pengap, kehidupan mereka seperti berjalan di antara tembok keterbatasan ekonomi yang kokoh.

Melihat kehidupan mereka membuat saya berpikir. Apakah benar kita bisa menutup mata terhadap kesenjangan yang terjadi di sekitar kita? 

Di bawah kolong jembatan, puluhan warga, dari anak-anak hingga lansia, harus hidup di bedeng-bedeng kecil dari kayu dan seng. 

Bukan hanya tentang kenyamanan, tapi soal layak atau tidaknya tempat ini sebagai rumah. Rumah, bagi sebagian besar orang, adalah tempat untuk beristirahat, merasa aman, dan berkumpul dengan keluarga. 

Tapi bagi Jumiati dan keluarganya, rumah itu adalah ruang sempit di bawah jembatan.

Keterbatasan Ekonomi yang Mengurung Warga

Kondisi rumah Jumiati (48) di bawah Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2024). (KOMPAS/SHINTA DWI AYU) 
Kondisi rumah Jumiati (48) di bawah Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2024). (KOMPAS/SHINTA DWI AYU) 
Tidak ada yang mau hidup di tempat semacam itu, apalagi selama puluhan tahun. Namun, keterbatasan ekonomi sering kali memaksa mereka untuk menerima keadaan. 

Jumiati sendiri mengaku bahwa penghasilan suaminya sebagai tukang ojek online tidak cukup untuk menyewa rumah yang lebih layak. 

Sebagian besar penghasilan harian mereka habis untuk kebutuhan sehari-hari dan ongkos sekolah anak.

Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keterbatasan ekonomi bisa menciptakan siklus kemiskinan yang sulit diputus. 

Mereka yang terjebak di dalamnya tidak punya banyak pilihan selain bertahan, meskipun di tempat yang jauh dari kata layak. 

Permukiman kumuh seperti di Kolong Jembatan Pakin hanya memperkuat kesenjangan sosial yang selama ini menjadi tantangan besar di kota-kota besar Indonesia, termasuk Jakarta.

Relokasi Layak: Harapan yang Mungkin Masih Jauh

Lorong pemukiman warga yang berada di Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2024). (KOMPAS/SHINTA DWI AYU) 
Lorong pemukiman warga yang berada di Kolong Jembatan Pakin, Pademangan, Jakarta Utara, Jumat (8/11/2024). (KOMPAS/SHINTA DWI AYU) 
Ketika bicara tentang solusi, relokasi sering kali disebut sebagai pilihan. Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk menata permukiman kumuh

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, DKI Jakarta telah berhasil mengurangi jumlah RW kumuh dari 16,45% menjadi 9,22% dengan menata 220 RW kumuh pada tahun sebelumnya. 

Program relokasi atau penataan kawasan kumuh ini memang terlihat berhasil di beberapa wilayah, tapi tetap saja ada tantangan besar yang harus dihadapi, terutama dalam hal keberlanjutan sosial dan ekonomi warga yang direlokasi.

Jika kita lihat pengalaman di Surabaya, misalnya, ada Program Perbaikan Kampung yang dikelola dengan pendekatan partisipatif. 

Program ini tidak hanya berhasil menata kawasan kumuh, tetapi juga melibatkan warga dalam prosesnya, sehingga mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas tempat tinggal yang baru. 

Dengan pendekatan ini, tidak ada kesan “asal gusur” atau memindahkan orang tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan budaya mereka.

Relokasi Gratis atau Terjangkau: Solusi atau Tantangan Baru?

Relokasi tanpa biaya sewa atau dengan biaya yang sangat terjangkau mungkin bisa menjadi solusi bagi warga seperti Jumiati. 

Pendapat ahli dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan pentingnya konsolidasi tanah yang berkelanjutan dalam kebijakan relokasi kawasan kumuh. 

Dengan kebijakan seperti ini, keberlanjutan sosial dan ekonomi warga bisa lebih terjamin. Artinya, mereka tidak hanya dipindahkan ke tempat yang lebih layak, tetapi juga diberikan kesempatan untuk berkembang secara ekonomi tanpa terbebani oleh biaya sewa.

Namun, ada tantangan besar dalam mewujudkan relokasi gratis ini. Dari sisi pemerintah, biaya untuk membangun atau menyediakan hunian tanpa sewa tentu bukan hal yang murah. 

Di sinilah dibutuhkan perencanaan yang matang, tidak hanya dari segi anggaran tetapi juga strategi agar relokasi ini dapat berkelanjutan.

Jika kebijakan relokasi dengan biaya terjangkau atau bahkan bebas sewa ini berhasil, dampaknya bisa sangat besar. 

Bukan hanya akan mengurangi kesenjangan sosial di masyarakat, tetapi juga memberikan kesempatan bagi mereka yang terjebak dalam siklus kemiskinan untuk memulai hidup baru yang lebih layak.

Mencari Solusi Bersama

Relokasi adalah langkah awal yang penting, tapi itu saja tidak cukup. Kita butuh lebih dari sekadar memindahkan orang dari satu tempat ke tempat lain. 

Pendekatan yang melibatkan warga dalam proses relokasi, seperti yang dilakukan di Surabaya, bisa menjadi model yang lebih berkelanjutan. 

Dengan demikian, warga merasa memiliki andil dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik, bukan sekadar dipindahkan tanpa persiapan.

Relokasi juga perlu dibarengi dengan program pemberdayaan ekonomi bagi warga yang direlokasi. 

Program pelatihan kerja atau kesempatan untuk menjalankan usaha kecil di tempat tinggal yang baru bisa menjadi langkah tambahan yang mendukung keberlanjutan sosial dan ekonomi mereka. 

Dengan begitu, relokasi tidak hanya mengatasi masalah tempat tinggal, tetapi juga membantu warga meningkatkan kualitas hidup mereka secara menyeluruh.

Kehidupan di bawah kolong jembatan adalah sebuah cermin dari kesenjangan yang mungkin sering kita abaikan. 

Kita perlu lebih peduli, tidak hanya sebagai warga negara tetapi juga sebagai bagian dari masyarakat yang ingin melihat kemajuan bersama. 

Mari kita dorong pemerintah untuk memperluas program relokasi dan penataan kawasan kumuh dengan kebijakan yang lebih berkelanjutan dan pro-rakyat.

Akhirnya, ini bukan hanya tentang Jumiati dan keluarganya di Kolong Jembatan Pakin. 

Ini tentang hak atas tempat tinggal yang layak, yang seharusnya bisa diakses oleh semua orang.

***

Referensi:

  • Badan Pusat Statistik. (2024). Pemprov DKI sudah kurangi 220 RW kumuh di Jakarta pada 2023. Kompas.com.
  • WRI Indonesia. (2024). Jangan asal gusur: Upaya perbaikan kawasan kumuh di kota perlu melibatkan penduduknya.
  • Universitas Gadjah Mada. (2024). Konsolidasi tanah yang berkelanjutan dalam kebijakan relokasi kawasan kumuh: Analisis empiris yuridis. ResearchGate.
  • Megapolitan Kompas (2024). Kehidupan Gelap dan Pengap di Bawah Kolong Jembatan Pakin. Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun