Pernahkah Anda mendengarkan pembicara yang sering mengucapkan "eee," "mmm," atau "oke" di tengah pidatonya?
Meski tampak sepele, kata-kata ini kerap mengganggu dan bisa jadi merusak konsentrasi dan kredibilitas seorang pembicara di mata audiens.
Di Indonesia, di mana standar komunikasi publik semakin meningkat, terutama dengan hadirnya media digital, penggunaan filler words atau kata pengisi jadi lebih terasa.
Tidak lagi sekadar kebiasaan, kata pengisi justru menjadi penghambat bagi komunikasi yang efektif.
Melalui tulisan ini, Anda akan menemukan manfaat dan cara mengurangi kebiasaan tersebut, sehingga setiap presentasi Anda terdengar lebih lancar, meyakinkan, dan bebas dari gangguan "eee" yang tidak perlu.
Mengapa Kata Pengisi Muncul dan Dampaknya pada Kredibilitas
Menurut artikel yang dikutip dari Harvard Business Review (2018), penggunaan filler words atau kata pengisi sering kali muncul saat seseorang merasa gugup, kehilangan fokus, atau sekadar membutuhkan waktu berpikir sejenak sebelum melanjutkan.
Dalam konteks Indonesia yang mengedepankan keharmonisan dalam komunikasi, jeda panjang atau keheningan saat berbicara sering dianggap tidak nyaman, bahkan canggung.
Tak jarang, untuk menghindari momen-momen yang terkesan ‘kosong’ ini, kata pengisi akhirnya menjadi semacam penyangga, sesuatu yang bisa memberi waktu untuk mengumpulkan pikiran.
Namun, mengandalkan kata pengisi justru dapat menimbulkan efek negatif.
Lanjut Harvard Business Review, kata-kata seperti “eee,” “mmm,” dan “oke” secara terus menerus, sering kali mengganggu kejelasan pesan yang ingin disampaikan, dan mengurangi kredibilitas pembicara.
Pendengar dapat merasa bahwa pembicara tidak benar-benar menguasai materi atau tidak cukup percaya diri.