Bayangkan seorang pembicara yang mengandalkan kata pengisi saat menjadi narasumber di webinar, atau seorang influencer yang gemar mengatakan “eee” dan “mmm” di tengah obrolan podcast.
Hal ini bisa membuat audiens kehilangan fokus dan meragukan pesan yang disampaikan.
Namun, apakah masyarakat Indonesia bisa menerima konsep jeda dalam berbicara?
Meski masih di luar kebiasaan kita, jeda dapat membawa dampak positif jika dipraktikkan secara konsisten.
Ketika jeda sudah menjadi bagian dari norma berbicara, audiens pun akan terbiasa dan tak lagi menganggap keheningan singkat sebagai hal yang aneh.
Sebaliknya, mereka akan lebih menghargai penyampaian yang terstruktur dan teratur.
Kesimpulan
Pada akhirnya, memilih jeda daripada kata pengisi bukan sekadar teknik, melainkan tentang menciptakan komunikasi yang lebih jernih dan bermakna.
Mengganti “eee” dan “mmm” dengan keheningan yang terencana menunjukkan kesiapan dan penghargaan kita terhadap audiens.
Ini membutuhkan kesadaran dan latihan yang terus-menerus, membiasakan diri untuk mengambil jeda dan memberi ruang bagi pesan kita untuk dipahami.
Namun, di dunia yang serba cepat dan penuh distraksi ini, mampukah kita tetap memilih jeda?
Apakah kita berani menghargai keheningan sebagai bagian dari dialog yang lebih bermakna?