Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pertarungan Panas Pilpres AS 2024, Bukan Sekadar Duel Politik

3 November 2024   21:17 Diperbarui: 3 November 2024   21:28 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamala Harris dan Donald Trump bukan sekadar dua nama yang bertarung dalam Pilpres Amerika Serikat 2024. 

Mereka adalah simbol dari dua pihak yang berseberangan, membawa harapan juga ancaman perpecahan sebuah bangsa. 

Di balik kerjar-kejaran hasil survey dan sengitnya perang opini, ada hal besar yang sedang dipertaruhkan, yakni masa depan demokrasi yang diuji oleh pertarungan ideologi dan kepentingan. 

Bagi kita di Indonesia, narasi ini bukan sekadar tontonan, ia adalah cermin, ia adalah refleksi tentang bagaimana bangsa yang beragam dapat bertahan di tengah perbedaan. 

Melalui artikel ini, kita akan menelusuri makna pluralisme, tantangan demokrasi, dan pelajaran penting yang dapat kita ambil dari negara adidaya di seberang lautan sana.

Pluralisme dalam Ujian Pemilu

Pemilu di AS kali ini seakan menjadi ujian berat bagi pluralisme. 

Seperti yang diungkapkan dalam artikel Media Indonesia, pluralisme menjadi kunci dalam menjaga stabilitas sosial, karena memungkinkan berbagai kelompok masyarakat mengekspresikan pandangan dan kepentingan mereka secara demokratis. 

Hal ini penting untuk mencegah dominasi satu kelompok atas kelompok lainnya, yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.

Bila kita melihat perbedaan ideologi antara Kamala Harris dan Donald Trump, keduanya bukan hanya bersaing dalam soal kepemimpinan, tetapi juga visi yang bertolak belakang tentang arah negara. 

Harris membawa agenda kesetaraan dan perlindungan lingkungan, sementara Trump, dengan pendekatan "America First", fokus pada kemandirian ekonomi dan deregulasi. 

Menurut Pew Research Center, pendukung Harris dan Trump memiliki pandangan yang sangat berlawanan dalam isu-isu budaya dan peran pemerintah, memperdalam jurang perpecahan di masyarakat AS.

Di Indonesia, perbedaan ideologi semacam ini bukan barang baru. 

Banyak di antara kita yang terpolarisasi oleh perbedaan pandangan politik, bahkan hingga merambah ke ranah personal dan sosial. 

Dalam konteks Indonesia, pluralisme seharusnya menjadi elemen penting yang menjembatani berbagai perbedaan tersebut, bukan justru memperlebar jarak. 

Seperti halnya di AS, tantangan bagi demokrasi Indonesia adalah bagaimana menjadikan pluralisme sebagai kekuatan pemersatu yang mampu menyeimbangkan kepentingan berbagai kelompok tanpa harus mengorbankan kohesi sosial.

Polarisasi Sosial dan Kohesi yang Terancam

Ketegangan ideologis yang mengiringi pemilu AS 2024 menunjukkan bagaimana perbedaan visi antara Harris dan Trump berdampak pada kohesi sosial. 

Menurut Pew Research Center, pendukung kedua kandidat ini terpecah dalam banyak aspek, mulai dari pandangan tentang keadilan sosial hingga peran negara dalam kehidupan sehari-hari. 

Perbedaan ini mempertegas polarisasi di kalangan masyarakat, yang pada akhirnya mengancam kohesi sosial di AS.

Fenomena ini mengingatkan kita pada kondisi di Indonesia, di mana sering kali kampanye pemilu memecah belah masyarakat. 

Tak jarang kita melihat pertentangan antara kelompok yang mendukung kebijakan populis versus mereka yang menginginkan perubahan progresif. 

Hal ini serupa dengan pendukung Trump yang lebih konservatif dan cenderung mempertahankan nilai-nilai tradisional, sementara pendukung Harris lebih progresif dan mengusung perubahan.

Dalam masyarakat yang terpecah seperti ini, penting bagi pemimpin untuk memainkan peran sebagai penengah yang mampu merangkul semua lapisan masyarakat. 

Tidak mudah memang, terutama karena setiap kelompok memiliki kepentingan dan nilai yang berbeda. 

Namun, bila kita ingin menjaga keutuhan bangsa, diperlukan pendekatan inklusif yang mengakomodasi kepentingan bersama di atas kepentingan golongan tertentu.

Belajar dari Pengalaman Demokrasi Negara Lain

Menurut studi dari Arie Sujito dalam Jurnal Pancasila UGM, pluralisme memiliki pengaruh yang signifikan dalam pemilu di negara-negara demokratis. 

Pluralisme tidak hanya memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan pandangan yang berbeda, tetapi juga mendorong kebijakan publik yang lebih inklusif. 

Dalam konteks ini, pemilu tidak hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan, tetapi juga ruang bagi masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan mereka melalui proses demokrasi.

Di AS, pluralisme ini tampak diuji ketika pemilu mengharuskan setiap kandidat berusaha menarik dukungan dari kelompok-kelompok yang beragam. 

Harris, misalnya, mendapatkan dukungan dari komunitas kulit hitam dan kelompok progresif, sementara Trump cenderung didukung oleh kelompok konservatif dan kelas pekerja yang lebih tradisional. 

Dengan latar belakang pendukung yang beragam ini, kedua kandidat dituntut untuk mengembangkan kebijakan yang tidak hanya memihak satu kelompok, tetapi dapat diterima oleh mayoritas.

Di Indonesia, kita juga memiliki masyarakat yang sangat majemuk, dengan beragam suku, agama, dan budaya. 

Penting bagi pemimpin kita untuk belajar dari pengalaman pemilu di negara lain, termasuk AS, dalam membangun kebijakan yang lebih inklusif. 

Kita membutuhkan pemimpin yang mampu merangkul semua elemen masyarakat, serta mendorong kebijakan yang mengedepankan kepentingan bangsa secara keseluruhan.

Menjaga Kohesi di Tengah Perbedaan

Di tengah ketatnya persaingan politik, pemilu AS kali ini menjadi cermin bagi negara-negara lain dalam menjaga kohesi di tengah perbedaan. 

Dengan tingkat polarisasi yang tinggi, kekhawatiran akan stabilitas pasca-pemilihan semakin nyata. 

Menurut Media Indonesia, narasi persatuan sangat penting dalam menjaga stabilitas sosial, terutama di tengah situasi yang rawan konflik seperti ini.

Indonesia pun pernah mengalami momen-momen tegang akibat pemilu yang memicu perpecahan sosial. 

Namun, sebagai bangsa yang besar, kita telah membuktikan bahwa kita mampu melalui masa-masa sulit tersebut dengan damai. 

Pengalaman ini menunjukkan bahwa demokrasi yang sehat tidak berarti tanpa perbedaan, tetapi perbedaan tersebut harus dikelola dengan bijak agar tidak menimbulkan perpecahan.

Kesimpulan

Pilpres AS 2024 memberi kita pelajaran berharga: demokrasi bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan soal memastikan setiap suara didengar, setiap kelompok merasa diwakili. 

Di tengah ketegangan ideologi, pluralisme menjadi kunci menjaga keutuhan bangsa. 

Namun, mampukah kita, dalam pesta demokrasi kita sendiri di masa depan, menyeimbangkan kepentingan tanpa harus terpecah belah?

***

Referensi:

  • Media Indonesia. (2022, 20 November). Pilpres 2024 dan Narasi Persatuan.
  • Pew Research Center. (2024, 26 Agustus). The Political Values of Harris and Trump Supporters.
  • Sujito, A. (2022). Pancasila dan Politik Emansipasi: Problematisasi Politik Identitas Menuju Pemilu 2024. Jurnal Pancasila, 3(2), 13-32.
  • Newsweek. (2024, 1 Oktober). Comparing Harris and Trump's Policies on 7 Key Issues.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun