Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bawa Bekal ke Kampus, Ekonomis dan Penuh Cinta

25 Oktober 2024   19:56 Diperbarui: 25 Oktober 2024   20:11 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bekal makanan (Foto: EatThis.com) 

Mahasiswa sering terlihat makan bersama di kelas setelah jam kuliah selesai atau berkumpul di kantin saat jam makan siang, terutama pada hari-hari dengan jadwal kuliah yang padat. 

Kebiasaan ini biasanya terjadi sekitar jam 12 siang hingga jam 1 siang, di mana mahasiswa menggunakan waktu istirahat untuk makan bersama sambil berbagi cerita tentang kegiatan mereka. 

Membawa bekal dari rumah menjadi hal umum, baik untuk dinikmati bersama di kantin atau ruang kelas. 

Bagi banyak mahasiswa Indonesia, membawa bekal bukan lagi sekadar nostalgia masa kecil, tetapi strategi bertahan di tengah kondisi ekonomi yang sulit. 

Lebih dari sekadar mengisi perut, ini adalah bentuk adaptasi dalam menghadapi tantangan ekonomi.

Berhemat di Tengah Ketidakpastian Ekonomi

Berdasarkan data dari Save the Student, banyak mahasiswa membawa bekal sebagai bentuk penghematan signifikan. 

Rata-rata mahasiswa dapat menghemat hingga setengah pengeluaran dibanding makan di kantin atau restoran. 

Penghematan ini bisa menjadi perbedaan antara mampu bertahan hingga akhir bulan atau tidak, terutama bagi mahasiswa yang mengalami tekanan finansial.

Jika kita membandingkan dengan biaya meal plan di beberapa universitas di luar negeri, seperti di University of California yang mencapai lebih dari $ 5.700 per tahun (SABEW, 2023), langkah membawa bekal jelas lebih ekonomis. 

Data dari College Board juga menunjukkan bahwa rata-rata biaya meal plan di universitas Amerika berkisar antara $4.500 hingga $6.000 per tahun. 

Di Indonesia, biaya makan di kantin kampus rata-rata dapat mencapai Rp 20.000 hingga Rp 30.000 per hari, yang jika diakumulasi bisa mencapai sekitar Rp 6.000.000 per tahun, jauh lebih mahal dibandingkan menyiapkan bekal sendiri. 

Di Indonesia sendiri, mahasiswa sering menghadapi berbagai keterbatasan finansial. 

Biaya kuliah, tempat tinggal, buku, hingga transportasi menambah beban yang mereka tanggung. 

Dalam situasi seperti ini, membawa bekal menjadi solusi praktis yang dapat membantu mereka mempertahankan stabilitas keuangan.

Selain alasan finansial, kesehatan juga menjadi faktor penting mengapa banyak mahasiswa membawa bekal. 

NYC Food Policy menekankan bahwa membawa bekal memberikan kendali lebih besar atas kualitas dan kebersihan makanan.

Mahasiswa merasa lebih tenang karena tahu bahan dan cara memasaknya. 

Mereka sering membawa makanan seperti nasi dengan lauk ayam, telur, mie instan, sayuran, ikan, tumis tempe, atau tahu. 

Makanan-makanan ini mudah disiapkan, terjamin kebersihannya, dan juga memberikan variasi gizi yang cukup, terutama di kampus besar di mana opsi makanan sehat terbatas.

Dukungan Keluarga dan Sentimen Emosional

Ada sisi sentimental dalam kebiasaan membawa bekal yang tidak bisa diabaikan. 

Banyak mahasiswa yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi terbatas sering mendapatkan dukungan emosional melalui makanan yang disiapkan oleh orang tua mereka. 

Frontiers in Education menyebutkan bahwa peran keluarga dalam mendukung mahasiswa sangat besar, terutama melalui penyediaan bekal yang membantu mengurangi beban finansial mereka.

Dukungan ini bukan hanya soal makanan, tetapi juga menjadi bentuk kasih sayang yang terasa dalam setiap suapan. 

Sebagai contoh, banyak mahasiswa merasakan bekal yang disiapkan oleh orang tua bukan hanya sekadar makanan, tetapi juga bentuk perhatian dan dukungan di tengah kesibukan perkuliahan. 

Annisa Ayu, seorang mahasiswa UPN Veteran Jakarta, menceritakan, 'Awalnya memang terasa seperti keterpaksaan, tapi sekarang saya sadar makanan dari rumah lebih sehat dan membuat saya merasa lebih dekat dengan keluarga.' 

Di tengah perjuangan menyelesaikan tugas dan tekanan akademik lainnya, membawa bekal dari rumah menjadi pengingat bagi mahasiswa bahwa mereka tidak berjuang sendirian. 

Ini adalah bentuk dukungan yang tidak bisa diukur dengan angka.

Lebih dari Sekadar Hemat

Membawa bekal mungkin terdengar sederhana, tetapi kebiasaan ini mencerminkan adaptasi mahasiswa terhadap kondisi ekonomi yang sulit. 

Berdasarkan survei dari Save the Student, 52% mahasiswa mengalami kesulitan finansial dan mempertimbangkan untuk berhenti kuliah. 

Inside Higher Ed (2024) juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang membawa bekal lebih mampu mengelola keuangan dan fokus pada akademik dan kesehatan mental.

Kebiasaan ini menunjukkan kreativitas mahasiswa dalam memilih bahan yang sehat, mengontrol porsi makan, dan merancang menu bervariasi. 

Dalam konteks budaya Indonesia, membawa bekal juga menjadi kesempatan untuk berbagi dengan teman dan menciptakan kebersamaan. 

Misalnya, saat jam makan siang di kantin, mahasiswa sering berkumpul dan saling mencicipi bekal satu sama lain, menciptakan suasana yang lebih akrab. 

Hal ini tidak hanya membantu mereka menghemat biaya, tetapi juga memperkuat ikatan sosial di antara teman-teman.

Sebuah Pilihan demi Bertahan di Tengah Tantangan

Membawa bekal bukan hanya tentang menyiasati lapar di tengah jam kuliah yang panjang. 

Ini adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap tantangan ekonomi, sebuah cara untuk menjaga kesehatan fisik dan mental, dan sebuah simbol dukungan keluarga yang tak ternilai. 

Pilihan sederhana ini dapat memberikan dampak yang besar, jauh lebih dari sekadar mengisi perut.

Bagi mahasiswa Indonesia, membawa bekal bisa dipandang sebagai pilihan yang praktis dan ekonomis. 

Tapi di baliknya, ada cerita tentang perjuangan, cinta keluarga, dan keinginan untuk bertahan. 

Referensi:

  • Inside Higher Ed. (2024). What college students want from their dining provider.
  • Save the Student. (2024). Student money survey 2024 results.
  • NYC Food Policy. (2024). The impact of food on academic behavior, attendance, performance, and attrition.
  • Frontiers in Education. (2024). Family and higher education: Developing a comprehensive framework of parents’ support and expectations of first-generation students.
  • SABEW. (2023). The cost of convenience: College meal plans.
  • Covering Poverty. (2023). The cost of convenience: College meal plans.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun