minyak goreng terguling di depan kampus Universitas Negeri Makassar (UNM) akibat mencoba menghindari kendaraan lain yang tiba-tiba berhenti mendadak. Seperti air yang menyebar dari pecahan kendi, kabar ini menyebar cepat. Tidak lama kemudian, jalanan dipenuhi ibu-ibu dengan jerigen, galon, dan ember.Â
Pagi ini, 24 Oktober 2024, truk kontainer yang membawa 20 tonMereka berebut minyak yang tumpah di aspal, meski polisi sudah berusaha menghentikan aksi tersebut. Pemandangan ini bukan sekadar insiden kecelakaan, melainkan sebuah cerminan dari realitas sosial ekonomi.
Kesenjangan Sosial dan Keberanian Warga di Situasi Darurat
Kejadian di Makassar ini membuka mata kita tentang bagaimana kesenjangan sosial menjadi pemicu utama tindakan penjarahan.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Makassar masih menjadi masalah serius.Â
Pada Maret 2024, terdapat sekitar 7.836 keluarga yang hidup dalam kemiskinan ekstrem.Â
Angka ini menyoroti realitas kehidupan warga yang harus bertahan di tengah keterbatasan.Â
Ketika kesempatan seperti ini datang — meski dalam bentuk minyak tumpah dari kecelakaan — mereka melihatnya sebagai peluang untuk memenuhi kebutuhan.Â
Selain itu, mereka juga berharap bisa mendapatkan sedikit penghasilan tambahan dari minyak tersebut.
Beberapa warga, mengutip IDN Times, mengatakan bahwa minyak tersebut akan digunakan untuk keperluan sehari-hari, seperti menggoreng makanan yang nantinya akan dijual kembali.Â
Saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka.Â
Bagi warga dengan kondisi ekonomi yang begitu sulit, minyak goreng adalah harta yang tak ternilai.Â
Mereka melihatnya bukan sebagai sesuatu yang mereka curi, tapi sebagai rezeki yang sayang jika dibiarkan terbuang sia-sia.Â
Ini adalah bentuk keberanian yang muncul dari keterpaksaan — bertindak melawan norma demi bertahan hidup.
Kesulitan Otoritas Mengendalikan Situasi
Namun, ada sisi lain dari cerita ini.Â
Mengutip IDN Times, polisi sudah memasang garis pembatas dan memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin terjadi, tetapi warga tetap sulit dihentikan.Â
Pernyataan ini menyoroti kesulitan otoritas dalam mengendalikan massa, terutama ketika mereka merasa terdesak oleh kebutuhan hidup.Â
Ini bukan pertama kalinya hal seperti ini terjadi.Â
Di berbagai wilayah di Indonesia, kita telah melihat insiden serupa, seperti penjarahan susu di Indramayu dan bawang merah di Ponorogo pada tahun 2023, sebagaimana diberitakan oleh Tirto.
Ketidakberdayaan ekonomi membuat masyarakat lebih rentan melanggar hukum.Â
Mereka merasa tidak punya pilihan selain memanfaatkan situasi yang ada, meskipun itu berarti harus berhadapan dengan aturan hukum.Â
Dalam konteks ini, ketidakpatuhan warga bukanlah cerminan dari moralitas yang rendah, melainkan refleksi dari kondisi ekonomi yang terjepit dan rasa frustrasi terhadap ketidakadilan sosial.Â
Mengutip Jurnal Rechts Vinding dan Hukum Line, masyarakat yang hidup dalam ketidakberdayaan ekonomi cenderung lebih rentan melanggar hukum demi bertahan hidup.
Kebutuhan Ekonomi vs Kepatuhan Hukum
Lalu, bagaimana kita harus memandang insiden ini?Â
Apakah warga yang menjarah minyak goreng itu pantas disebut sebagai pelanggar hukum?Â
Atau apakah mereka korban dari sistem yang tidak memberikan cukup kesempatan untuk bertahan dengan cara yang lebih bermartabat?
Menurut Jurnal Rechts Vinding dan Hukum Line, ada hubungan erat antara ketidakberdayaan ekonomi dan ketidakpatuhan hukum di masyarakat.Â
Ketika seseorang tidak punya cukup akses terhadap kebutuhan dasar — pangan, sandang, dan papan — maka hukum sering kali kehilangan relevansinya di mata mereka.Â
Dalam kasus ini, hukum bukan lagi menjadi pengaman sosial, tetapi justru penghalang bagi mereka untuk bertahan hidup.Â
Regulasi yang tidak efisien dan ketidakpastian hukum hanya akan semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Penjarahan minyak goreng di Makassar ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana kesenjangan ekonomi menciptakan dilema dalam penegakan hukum.Â
Misalnya, pada tahun 2023 terjadi penjarahan muatan susu di Indramayu dan bawang merah di Ponorogo, yang menunjukkan betapa seringnya insiden seperti ini terjadi ketika kondisi ekonomi masyarakat terjepit.Â
Regulasi yang efektif seharusnya tidak hanya berfungsi untuk menjaga ketertiban, tetapi juga memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi.Â
Ketika hukum gagal melakukan hal tersebut, yang terjadi adalah seperti di Makassar: rakyat yang merasa tidak punya pilihan lain, dan otoritas yang kewalahan menghadapi situasi yang mereka tidak bisa kendalikan.
Kesimpulan
Peristiwa ini memperlihatkan kita pentingnya menyeimbangkan penegakan hukum dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat.Â
Kesenjangan sosial memicu ketidakpatuhan, dan upaya otoritas sering kali kurang efektif.Â
Bagaimana hukum bisa menjadi lebih relevan dan menjadi jaring pengaman bagi mereka yang membutuhkan?
Referensi:
- BPS Makassar. (2024). Kota Makassar Dalam Angka 2024.
- Bisnis Sulawesi. (2023, September 13). 7.836 keluarga di Makassar berstatus miskin ekstrem.
- IDN Times. (2024). Warga jarah minyak goreng dari truk kontainer yang terbalik di UNM.
- Tirto. (2023). Daftar kasus penjarahan sepekan: Ada bawang hingga susu beruang.
- Rechts Vinding. (n.d.). Hubungan hukum dan ekonomi.
- Hukum Line. (n.d.). Hubungan hukum dan ekonomi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H