Lalu, bagaimana kita harus memandang insiden ini?Â
Apakah warga yang menjarah minyak goreng itu pantas disebut sebagai pelanggar hukum?Â
Atau apakah mereka korban dari sistem yang tidak memberikan cukup kesempatan untuk bertahan dengan cara yang lebih bermartabat?
Menurut Jurnal Rechts Vinding dan Hukum Line, ada hubungan erat antara ketidakberdayaan ekonomi dan ketidakpatuhan hukum di masyarakat.Â
Ketika seseorang tidak punya cukup akses terhadap kebutuhan dasar — pangan, sandang, dan papan — maka hukum sering kali kehilangan relevansinya di mata mereka.Â
Dalam kasus ini, hukum bukan lagi menjadi pengaman sosial, tetapi justru penghalang bagi mereka untuk bertahan hidup.Â
Regulasi yang tidak efisien dan ketidakpastian hukum hanya akan semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap sistem yang seharusnya melindungi mereka.
Penjarahan minyak goreng di Makassar ini hanyalah satu dari sekian banyak contoh bagaimana kesenjangan ekonomi menciptakan dilema dalam penegakan hukum.Â
Misalnya, pada tahun 2023 terjadi penjarahan muatan susu di Indramayu dan bawang merah di Ponorogo, yang menunjukkan betapa seringnya insiden seperti ini terjadi ketika kondisi ekonomi masyarakat terjepit.Â
Regulasi yang efektif seharusnya tidak hanya berfungsi untuk menjaga ketertiban, tetapi juga memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi.Â
Ketika hukum gagal melakukan hal tersebut, yang terjadi adalah seperti di Makassar: rakyat yang merasa tidak punya pilihan lain, dan otoritas yang kewalahan menghadapi situasi yang mereka tidak bisa kendalikan.