pekerja informal di Indonesia, realitas pernikahan mereka diwarnai oleh utang. La Ode sempat mencoba dagang emas untuk biaya pernikahan, tetapi gagal dan akhirnya terjebak cicilan motor sebesar Rp 1,3 juta per bulan. Penghasilannya dari pekerjaan katering hanya Rp 3,5 juta per bulan, sehingga keuangan mereka terus tertekan.Â
La Ode dan Sheila, pasangan muda dari Balikpapan, menikah pada September 2024 dengan harapan hidup bahagia. Namun, seperti banyakIni bukan cerita yang asing di kalangan pekerja informal di Indonesia, di mana pendapatan yang tidak tetap dan pengeluaran besar sering kali bertabrakan, sehingga menyebabkan beban finansial yang luar biasa.
Tekanan Ekonomi dan Adat
Apa yang dialami La Ode dan Sheila sebenarnya mencerminkan gambaran lebih besar dari generasi muda pekerja informal di Indonesia.Â
Menurut OJK dan Goodstats, tingkat literasi keuangan di Indonesia pada 2024 telah meningkat hingga 65,43%.Â
Angka ini terdengar menjanjikan, tapi kenyataannya, banyak pekerja informal seperti La Ode dan Sheila masih belum cukup memahami cara mengelola keuangan mereka dengan baik.
Selain itu, tekanan adat juga menjadi beban tambahan. Di berbagai daerah di Indonesia, adat sering kali menambah biaya besar dalam sebuah pernikahan.Â
Pengaruh adat terhadap biaya pernikahan ini sangat bervariasi.Â
Dalam kasus La Ode, adat Buton mengharuskan adanya pembayaran uang adat dan pesta pernikahan yang besar, meski sebenarnya mereka hanya ingin menikah secara sederhana.Â
Tekanan dari keluarga besar membuat mereka terjebak dalam tradisi yang, meskipun bermakna, justru memperberat beban finansial.
Tantangan Keuangan Pekerja Informal
Tantangan utama yang dihadapi pekerja informal dalam perencanaan keuangan pernikahan adalah ketidakstabilan penghasilan, kurangnya akses ke produk keuangan formal, dan rendahnya literasi keuangan.Â
La Ode hanya memiliki penghasilan yang tidak tetap dari pekerjaannya sebagai buruh, dan seperti banyak pekerja informal lainnya, ia tidak memiliki akses mudah ke pinjaman bank yang lebih aman.Â
Banyak yang justru beralih ke pinjaman online atau skema lainnya, yang sering kali membawa mereka pada bunga tinggi dan jebakan utang yang sulit diatasi.Â
Sementara itu, perencanaan keuangan yang matang sangat penting, tetapi sering kali diabaikan.Â
Banyak pasangan muda yang tidak menyiapkan dana pernikahan dengan baik, dan seperti yang terjadi pada La Ode.Â
Mereka akhirnya mengorbankan kebutuhan jangka panjang demi memenuhi kebutuhan jangka pendek yang dipicu oleh tekanan adat dan ekspektasi keluarga.
Program Pemerintah dan Solusi Struktural
Tentu saja, pemerintah tidak tinggal diam.Â
Melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK), berbagai program literasi keuangan telah diluncurkan untuk membantu pekerja informal lebih bijak dalam mengelola keuangan.Â
Program "Literasi Keuangan Indonesia Terdepan" (Like IT) adalah salah satu inisiatif yang menargetkan generasi muda di kota-kota besar.Â
Ini adalah langkah yang bagus, tetapi masih ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk memastikan program ini menjangkau lebih banyak pekerja informal di daerah-daerah terpencil.
Solusi struktural lainnya yang diperlukan termasuk perluasan akses ke produk keuangan yang lebih inklusif.Â
Banyak pekerja informal masih belum memiliki akses yang memadai ke pinjaman dengan bunga rendah atau produk tabungan yang bisa membantu mereka menyiapkan dana untuk pernikahan atau kebutuhan mendesak lainnya.Â
Mengutip artikel dari OJK dan Tempo Bisnis, solusi ini sangat penting untuk membantu pekerja informal keluar dari jebakan utang.
Keterbukaan dan Perencanaan
Apa yang bisa kita pelajari dari kisah La Ode dan Sheila?Â
Keterbukaan adalah kunci. Jika sejak awal La Ode terbuka dengan pasangannya tentang kondisi keuangan mereka, mungkin mereka bisa menemukan solusi yang lebih baik.Â
Dalam kehidupan pernikahan, terbuka kepada pasangan tentang keuangan adalah langkah pertama untuk menghindari masalah yang lebih besar.
Selain itu, perencanaan keuangan yang matang adalah keharusan.Â
Bukan hanya untuk pernikahan, tetapi untuk kehidupan jangka panjang.Â
Kita sering kali terlalu fokus pada momen-momen besar seperti pernikahan, dan melupakan bahwa ada kehidupan setelah hari itu.Â
Seperti yang diungkapkan dalam berbagai penelitian, literasi keuangan harus dimulai sejak dini, sehingga generasi muda tidak hanya tahu cara mengelola uang, tetapi juga cara mempersiapkan masa depan mereka dengan lebih baik.
Refleksi untuk Generasi Muda
Pernikahan adalah awal dari perjalanan panjang.Â
Tetapi, seperti yang dialami oleh La Ode dan Sheila, tantangan finansial bisa membuat awal itu terasa berat.Â
Untuk generasi muda pekerja informal di Indonesia, kuncinya ada pada perencanaan, literasi, dan keterbukaan.Â
Mari kita belajar dari pengalaman mereka dan memastikan bahwa kita siap menghadapi tantangan ekonomi dan budaya yang mungkin datang di masa depan.Â
Sebab, dalam pernikahan dan dalam hidup, persiapan adalah setengah dari kemenangan.
Referensi:
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK). (2024, Agustus 2). Siaran pers bersama: OJK dan BPS umumkan hasil survei nasional literasi dan inklusi keuangan tahun 2024.
- GoodStats. (2024, Oktober 23). Indeks literasi keuangan Indonesia terus meningkat, bukti kesadaran finansial membaik.
- Tempo.co. (2024, Oktober 23). OJK ajak generasi muda bijak kelola keuangan melalui literasi.