Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Makassar Artikel Utama

Krisis Air di Maros Membawa Rezeki Bagi Pedagang Air Tangki

15 Oktober 2024   06:00 Diperbarui: 16 Oktober 2024   10:55 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Desa Tunikamaseang, Bontoa, Maros, Sulawesi Selatan, mengantre air bersih (Dokumentasi BPBD Maros) 

Ketika musim kemarau datang di Sulawesi Selatan, khususnya di Kabupaten Maros, orang-orang di sana tahu betul betapa sulitnya mendapatkan air bersih. 

Sumur-sumur mulai mengering, sungai tidak lagi mengalir, dan sumber air semakin menipis. Tapi, di tengah krisis ini, ada juga yang melihatnya sebagai kesempatan untuk bertahan hidup, bahkan mencari nafkah. 

Salah satu dari mereka adalah Pak Sangkala, seorang pedagang air yang menggunakan mobil tangki untuk menjual air bersih kepada warga.

Meningkatnya Permintaan Air Saat Kemarau

Selama musim kemarau, permintaan air bersih melonjak tajam. Ini bukan lagi hal yang mengejutkan di daerah yang sangat bergantung pada sumber air alami seperti sumur atau sungai. 

Di Maros, terutama di wilayah pesisir seperti Bontoa dan Lau, warga sangat kesulitan mendapatkan air bersih. Nah, di sinilah peran para pedagang air seperti Sangkala dan Herman menjadi sangat penting.

Mengutip dari Detik, Pak Sangkala yang sudah lima tahun berjualan air, bisa mendapatkan Rp 600 ribu sehari hanya dengan menjual air menggunakan mobil tangki berkapasitas 4.000 liter. 

Ia biasanya menjual air dengan harga antara Rp 120 ribu hingga Rp 150 ribu, tergantung jarak pengirimannya. 

Sementara itu, Herman, yang menggunakan mobil pick-up dengan tandon, juga meraup keuntungan dari tingginya permintaan, meski dengan skala yang lebih kecil.

Kemarau, Peluang atau Masalah?

Sebenarnya, ada dua sisi dari fenomena ini. 

Bagi pedagang air seperti Sangkala dan Herman, kemarau adalah peluang emas. Mereka bisa menjual hingga empat hingga lima tangki air setiap hari, terutama di daerah-daerah yang tidak punya sumber air tetap. 

Hal ini tentu membawa keuntungan finansial bagi mereka. Menurut referensi terlampir, pedagang seperti Sangkala mampu memanfaatkan situasi ini untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang signifikan, terutama selama kemarau panjang.

Namun, jika kita melihatnya dari sisi yang lebih luas, kenaikan permintaan air ini juga menandakan adanya ketergantungan yang besar pada pedagang air. 

Masyarakat yang kesulitan mendapatkan air bersih harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli air. 

Di sinilah muncul pertanyaan: apakah ini solusi sementara atau masalah yang seharusnya diselesaikan secara lebih sistematis oleh pemerintah?

Tantangan yang Dihadapi Pedagang Air

Menjalankan bisnis air selama musim kemarau ternyata tidak semudah yang dibayangkan. 

Pedagang air seperti Sangkala dan Herman menghadapi tantangan besar, mulai dari antrean panjang di lokasi pengisian air hingga jarak yang jauh untuk pengiriman air ke konsumen. 

Ini tentu memakan waktu dan biaya lebih. Bahkan, ada kalanya permintaan terlalu tinggi hingga mereka harus menunggu berjam-jam untuk bisa mengisi air kembali. 

Tidak hanya itu, biaya operasional, seperti bahan bakar untuk mengantarkan air, juga ikut naik, yang pada akhirnya memengaruhi harga jual.

Namun, di balik semua tantangan ini, Sangkala tetap mampu menjaga kualitas air yang ia jual. 

Sumur-sumur di Desa Baruga, tempat ia mengambil air, masih tetap memberikan pasokan air meski musim kemarau terus berlanjut. 

Hal ini menunjukkan bahwa ada sumber daya air yang tetap bisa diandalkan, meski tidak semua daerah seberuntung itu.

Apa yang Sudah Dilakukan Pemerintah?

Pemerintah daerah tentunya tidak tinggal diam. BPBD Sulawesi Selatan sudah menetapkan status tanggap darurat kekeringan di beberapa daerah, termasuk di Maros dan sekitarnya. 

Untuk membantu warga yang terdampak, mereka mendistribusikan air bersih melalui mobil tangki. 

Selain itu, pemerintah juga sedang mencari solusi jangka panjang dengan menggunakan teknologi modifikasi cuaca untuk memicu hujan buatan. 

Menurut BPBD, upaya ini diharapkan bisa mengurangi dampak kekeringan di masa mendatang.

Namun, distribusi air ini tidak selalu mulus. 

Kadang-kadang, dana yang tersedia terbatas, sehingga bantuan tidak bisa diberikan secara konsisten. 

Tantangan ke depannya adalah bagaimana pemerintah bisa memastikan akses air bersih untuk semua warga, tanpa bergantung sepenuhnya pada bantuan darurat atau pedagang air swasta.

Menyeimbangkan Peluang dan Tantangan

Kisah Sangkala dan Herman adalah contoh nyata bagaimana orang bisa memanfaatkan krisis untuk bertahan hidup, bahkan mendapatkan keuntungan. 

Namun, fenomena ini juga mengingatkan kita bahwa masalah air bersih di Sulawesi Selatan bukanlah hal yang bisa dianggap enteng. 

Di satu sisi, pedagang air mendapatkan rezeki dari meningkatnya permintaan, tetapi di sisi lain, masyarakat yang kurang mampu mungkin kesulitan mendapatkan akses air bersih.

Apakah kita bisa terus bergantung pada solusi darurat ini setiap kali kemarau datang? 

Atau sudah saatnya kita mulai memikirkan solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan? 

Pertanyaan-pertanyaan ini penting untuk dijawab, terutama dalam konteks perubahan iklim yang semakin memperburuk pola cuaca, seperti kemarau yang lebih panjang.

Pada akhirnya, kita semua berharap bahwa pemerintah dan masyarakat bisa menemukan solusi yang lebih baik, sehingga di masa depan, air bersih bukan lagi barang langka yang hanya bisa dibeli oleh mereka yang mampu, tetapi menjadi hak dasar yang bisa diakses oleh semua orang.

Referensi:

  • ANTARA News. (2024, September 12). Kabupaten Maros darurat kekeringan, BPBD siapkan penyaluran air bersih. 
  • ANTARA News. (2023, September 12). Tiga daerah di Sulawesi Selatan berstatus tanggap darurat kekeringan. 
  • Bisnis Sulawesi. (2023, September 12). Sulsel tetapkan tiga daerah berstatus tanggap darurat kekeringan. 
  • DetikSulsel. (2024, Oktober 14). Berkah kekeringan 'Sang Pengangkut' air di Maros, cuan Rp 600 ribu sehari. 
  • Herald Sulsel. (2024, Oktober 11). 45 Ribu jiwa terdampak kekeringan, Maros tetapkan status darurat bencana. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Makassar Selengkapnya
Lihat Makassar Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun