Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Great Resignation dan Quiet Quitting, Alarm bagi Manajemen Perusahaan

4 Oktober 2024   16:00 Diperbarui: 4 Oktober 2024   16:15 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi karyawan quiet quitting (careerarc.com)

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia ketenagakerjaan mengalami dua fenomena besar yang mengguncang perusahaan di berbagai sektor.

Istilah Quiet Quitting dan Great Resignation semakin sering terdengar, menjadi refleksi dari perubahan besar dalam dinamika kerja, terutama setelah pandemi COVID-19. 

Di balik dua fenomena ini, terdapat pesan penting yang sering kali terlewat oleh manajemen perusahaan: ini adalah tanda bahwa ada masalah fundamental dalam kepemimpinan yang perlu segera diperbaiki.

Quiet quitting: Sebuah cermin untuk kebijakan manajerial

Sebelum kita memahami lebih dalam tentang dampak dari Quiet Quitting, kita perlu melihat mengapa fenomena ini muncul. 

Menurut penelitian dari World Economic Forum, Quiet Quitting adalah hasil dari karyawan yang merasa tidak lagi diakui atau didukung secara memadai oleh manajemen mereka. 

Ini bukan sekadar soal karyawan yang malas atau kurang termotivasi. 

Sebaliknya, ini adalah bentuk protes diam-diam terhadap kebijakan manajerial yang tidak responsif.

Quiet Quitting terjadi ketika karyawan merasa bahwa upaya ekstra yang mereka lakukan tidak lagi dihargai. 

Mereka tetap memenuhi tanggung jawab dasar mereka, tetapi enggan untuk berkontribusi lebih. 

Menurut salah satu artikel dari SpringerLink, karyawan yang memilih jalan ini sering kali merasa terjebak dalam lingkungan kerja yang tidak fleksibel, tidak diberi kesempatan untuk berkembang, dan tidak mendapatkan pengakuan yang layak atas pekerjaan mereka. 

Dalam konteks ini, manajerial yang tidak peka terhadap kebutuhan karyawan akhirnya mendorong mereka untuk mundur secara emosional, meskipun secara fisik mereka masih berada di tempat kerja.

Menggunakan quiet quitting sebagai alat evaluasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun