Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Great Resignation dan Quiet Quitting, Alarm bagi Manajemen Perusahaan

4 Oktober 2024   16:00 Diperbarui: 4 Oktober 2024   16:15 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam skenario yang lebih positif, perusahaan bisa menggunakan Quiet Quitting sebagai alat evaluasi yang sangat efektif. 

Menurut HRM Handbook, fenomena ini seharusnya menjadi pemicu bagi manajerial untuk melihat lebih dalam apa yang salah dengan kebijakan internal mereka. 

Karyawan yang "quit quietly" sering kali adalah sinyal bahwa ada ketidakpuasan yang tidak terungkap, mungkin karena kurangnya komunikasi terbuka atau struktur kerja yang terlalu kaku.

Bagaimana cara perusahaan dapat merespons ini? 

Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan melakukan feedback loop secara berkala dan memastikan bahwa suara karyawan didengar. 

Menurut World Economic Forum, kepemimpinan yang adaptif adalah kunci untuk memperbaiki kebijakan yang sudah usang. 

Dalam lingkungan kerja yang terus berkembang, terutama dengan adanya generasi milenial dan Gen Z yang mendominasi, perusahaan perlu lebih peka terhadap kebutuhan karyawan untuk keseimbangan kehidupan kerja dan fleksibilitas.

Mengidentifikasi quiet quitters: Tantangan bagi HR

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan saat menghadapi Quiet Quitting adalah bagaimana mengidentifikasi karyawan yang terlibat dalam fenomena ini. 

Menurut Solange Charas dalam publikasi WorldatWork, penggunaan people analytics dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk melacak tingkat keterlibatan karyawan dan menemukan pola disengagement. 

Data seperti frekuensi cuti sakit, produktivitas yang menurun, atau absensi yang meningkat dapat menjadi indikator awal adanya masalah. 

Selain itu, analisis sentimen juga dapat membantu manajemen untuk memahami lebih dalam apakah ada tren burnout atau kelelahan yang terjadi di antara karyawan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun