Dalam skenario yang lebih positif, perusahaan bisa menggunakan Quiet Quitting sebagai alat evaluasi yang sangat efektif.Â
Menurut HRM Handbook, fenomena ini seharusnya menjadi pemicu bagi manajerial untuk melihat lebih dalam apa yang salah dengan kebijakan internal mereka.Â
Karyawan yang "quit quietly" sering kali adalah sinyal bahwa ada ketidakpuasan yang tidak terungkap, mungkin karena kurangnya komunikasi terbuka atau struktur kerja yang terlalu kaku.
Bagaimana cara perusahaan dapat merespons ini?Â
Salah satu cara yang paling efektif adalah dengan melakukan feedback loop secara berkala dan memastikan bahwa suara karyawan didengar.Â
Menurut World Economic Forum, kepemimpinan yang adaptif adalah kunci untuk memperbaiki kebijakan yang sudah usang.Â
Dalam lingkungan kerja yang terus berkembang, terutama dengan adanya generasi milenial dan Gen Z yang mendominasi, perusahaan perlu lebih peka terhadap kebutuhan karyawan untuk keseimbangan kehidupan kerja dan fleksibilitas.
Mengidentifikasi quiet quitters: Tantangan bagi HR
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi perusahaan saat menghadapi Quiet Quitting adalah bagaimana mengidentifikasi karyawan yang terlibat dalam fenomena ini.Â
Menurut Solange Charas dalam publikasi WorldatWork, penggunaan people analytics dapat menjadi alat yang sangat berguna untuk melacak tingkat keterlibatan karyawan dan menemukan pola disengagement.Â
Data seperti frekuensi cuti sakit, produktivitas yang menurun, atau absensi yang meningkat dapat menjadi indikator awal adanya masalah.Â
Selain itu, analisis sentimen juga dapat membantu manajemen untuk memahami lebih dalam apakah ada tren burnout atau kelelahan yang terjadi di antara karyawan.