Meski jauh dari sorotan media, Siti tidak hanya mengajar, tapi juga berinisiatif membenahi manajemen sekolah dan memberikan pendampingan khusus bagi siswa yang masih kesulitan membaca.
Kisah lain datang dari Ilham, seorang guru di desa terpencil di Kabupaten Rokan Hulu, Riau.Â
Setiap hari, Ilham menempuh perjalanan sulit sejauh 9 km yang bisa memakan waktu hingga 1,5 jam saat musim hujan.Â
Meski gajinya hanya Rp 1,5 juta per bulan, semangat Ilham untuk mengabdi tidak pernah surut.Â
Baginya, melihat anak-anak di daerah terpencil menjadi pintar memberikan kepuasan yang tidak ternilai.
Terakhir, ada kisah Ibu Aven dari Manggara Timur, NTT, yang menunjukkan dedikasi luar biasa di masa pandemi.Â
Karena keterbatasan akses internet dan gawai, ia rela berjalan kaki 45 menit hingga satu jam setiap minggu untuk mengunjungi rumah murid-muridnya.Â
Meski lelah, semangatnya tidak pernah surut. Ia mengungkapkan dengan penuh semangat, "Saya merasa sangat gembira karena masih bisa berinteraksi dengan para siswa, meskipun hanya sekali dalam tujuh hari."
Guru-guru ini mungkin tidak populer atau muncul di headline berita, tapi kontribusi mereka pada masyarakat jauh lebih berharga dari sekadar likes di media sosial.Â
Mereka adalah contoh nyata orang-orang yang memilih jalan sunyi namun penuh makna, mengabdikan diri untuk membentuk masa depan anak-anak bangsa tanpa mengejar popularitas.
Kisah-kisah ini mengingatkan kita bahwa kebermaknaan hidup tidak diukur dari seberapa banyak pengikut yang kita miliki di media sosial, tapi dari seberapa dalam kita menghayati setiap momen dan memberikan dampak positif pada lingkungan sekitar.Â