Bonding antara orangtua dan anak kini menghadapi tantangan besar di era digital yang serba cepat. Pola asuh tradisional tergerus oleh tuntutan karir yang semakin tinggi, menciptakan dilema pelik bagi banyak orangtua di Indonesia. Di satu sisi, waktu yang tersita oleh pekerjaan semakin banyak. Di sisi lain, kebutuhan anak akan perhatian dan kasih sayang tetap tak berkurang.
Kesenjangan waktu ini kian mengikis hubungan emosional dalam keluarga, memaksa orangtua untuk mencari solusi kreatif dalam mempertahankan ikatan dengan anak-anak mereka.
Fenomena ini terutama terlihat di kota-kota besar, di mana ritme kehidupan yang cepat dan kompetitif seringkali memaksa orangtua untuk menghabiskan lebih banyak waktu di kantor daripada di rumah.
Akibatnya, waktu berkualitas bersama anak menjadi barang langka.
Artikel ini akan mengupas mengapa tuntutan karir orangtua meningkat, bagaimana dampaknya terhadap bonding dengan anak, serta solusi potensial yang bisa diterapkan untuk menjembatani kesenjangan ini.Â
Mengapa Tuntutan Karir Orangtua Meningkat?Â
Dunia kerja di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Globalisasi dan digitalisasi telah menciptakan lingkungan kerja yang semakin kompetitif, memaksa banyak orangtua untuk bekerja lebih lama dan lebih keras.
Sumargi dan Kristi (2017) dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa perubahan sosial ekonomi di Indonesia telah mengubah struktur keluarga dan pola pengasuhan anak.
Semakin banyak keluarga di mana kedua orangtua bekerja, menciptakan tantangan baru dalam menyeimbangkan karir dan pengasuhan.
Tekanan ekonomi juga menjadi faktor pendorong. Biaya hidup yang terus meningkat, terutama di kota-kota besar, memaksa banyak orangtua untuk mencari penghasilan tambahan atau mengambil lembur.
Akibatnya, waktu yang tersisa untuk keluarga menjadi semakin terbatas.
Selain itu, budaya kerja di banyak perusahaan Indonesia masih menekankan kehadiran fisik yang lama di kantor sebagai indikator produktivitas.
Hal ini sering kali mengharuskan karyawan untuk berada di kantor melebihi jam kerja normal, mengurangi waktu yang bisa dihabiskan bersama keluarga.
Perubahan peran gender juga berkontribusi pada fenomena ini. Semakin banyak wanita yang mengejar karir, menciptakan dinamika baru dalam pembagian tugas pengasuhan anak.
Namun, ekspektasi sosial terhadap peran ibu seringkali belum berubah, menciptakan beban ganda bagi banyak wanita karir.Â
Dampak Kesenjangan Waktu terhadap Bonding Orangtua dan AnakÂ
Kurangnya waktu berkualitas antara orangtua dan anak memiliki dampak signifikan terhadap perkembangan psikologis anak.
Para peneliti menemukan bahwa anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari orangtua cenderung mengalami masalah perilaku dan emosional.
Bonding, atau ikatan emosional antara orangtua dan anak, terbentuk melalui interaksi yang konsisten dan responsif.
Ketika waktu bersama menjadi terbatas, proses pembentukan bonding ini terganggu. Akibatnya, anak mungkin merasa kurang aman dan kurang percaya diri dalam hubungan mereka dengan orangtua.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang kurang mendapat waktu berkualitas dengan orangtua cenderung mengalami:
1. Kesulitan dalam mengelola emosi
2. Penurunan prestasi akademik
3. Peningkatan risiko perilaku bermasalah
Lebih lanjut, studi tersebut mengamati bahwa orangtua yang mengalami stres kerja tinggi cenderung menerapkan pola asuh yang lebih keras dan kurang responsif.
Hal ini dapat menciptakan lingkaran setan di mana hubungan orangtua-anak semakin renggang, menyebabkan lebih banyak masalah perilaku pada anak, yang pada gilirannya meningkatkan stres orangtua.Â
Solusi untuk Memperbaiki Bonding di Tengah Tuntutan KarirÂ
Meskipun tantangan yang dihadapi orangtua modern cukup berat, ada beberapa strategi yang bisa diterapkan untuk memperbaiki bonding dengan anak di tengah tuntutan karir yang tinggi.Â
1. Alokasi Waktu yang EfektifÂ
Penelitian terkini menekankan pentingnya kualitas interaksi, bukan hanya kuantitas. Orangtua dapat mengalokasikan waktu secara efektif dengan:Â
- Menetapkan "waktu khusus" untuk anak setiap hari, meski hanya 15-30 menit.Â
- Melibatkan anak dalam kegiatan sehari-hari, seperti memasak atau membereskan rumah.Â
- Menciptakan ritual keluarga, seperti makan malam bersama atau membacakan cerita sebelum tidur.Â
2. Membangun Momen Kebersamaan BerkualitasÂ
Kualitas interaksi lebih penting daripada kuantitas. Orangtua dapat:Â
- Fokus penuh pada anak saat bersama, tanpa gangguan gadget atau pekerjaan.Â
- Melakukan aktivitas yang disukai anak, seperti bermain atau berolahraga bersama.Â
- Mendengarkan dan merespons dengan empati terhadap cerita atau keluhan anak.Â
3. Memanfaatkan TeknologiÂ
Teknologi dapat menjadi alat untuk menjaga koneksi emosional:Â
- Menggunakan video call saat bekerja jauh dari rumah.Â
- Mengirim pesan singkat atau foto untuk menunjukkan perhatian.Â
- Memanfaatkan aplikasi berbagi tugas untuk melibatkan anak dalam kegiatan sehari-hari.Â
4. Dukungan dari PerusahaanÂ
Perusahaan dapat berperan dalam mendukung keseimbangan kerja-keluarga karyawan dengan:Â
- Menawarkan fleksibilitas waktu dan tempat kerja.Â
- Menyediakan fasilitas penitipan anak di kantor.Â
- Menerapkan kebijakan cuti yang ramah keluarga.Â
Studi menemukan bahwa orangtua yang mendapat dukungan dari tempat kerja cenderung mengalami tingkat stres yang lebih rendah dan mampu menerapkan pola asuh yang lebih positif.Â
KesimpulanÂ
Bonding antara orangtua dan anak menghadapi tantangan besar di era modern. Pola asuh tradisional tergerus oleh tuntutan karir, namun penelitian terkini menunjukkan ada solusi konkret.
Orangtua dapat mempertahankan ikatan kuat melalui alokasi waktu efektif, momen berkualitas, dan pemanfaatan teknologi bijak. Tekanan karir bukan alasan mengabaikan hubungan; perubahan prioritas diperlukan demi kesejahteraan keluarga.
Peran pemerintah dan perusahaan dalam mendukung keseimbangan kerja-keluarga juga krusial. Meski tantangan besar, dengan strategi tepat, orangtua modern dapat menyeimbangkan karir dan kebutuhan anak akan kasih sayang.
Referensi:
Sumargi, A., & Kristi, A. N. (2017). Well-being orang tua, pengasuhan otoritatif, dan perilaku bermasalah pada remaja. Jurnal Psikologi, 44(3), 185-197. https: Â //jurnal. Â ugm. Â ac. Â id/jpsi/article/download/25381/19293
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H