Bayangkan Anda sedang dalam perjalanan liburan ke Puncak, berharap untuk menikmati udara segar dan pemandangan indah.Â
Namun, boro-boro healing, Anda malah terjebak dalam kemacetan parah selama berjam-jam.Â
Sayangnya, ini bukan skenario hipotetis.Â
Pada September 2024, seorang wisatawan meninggal dunia di tengah kemacetan Puncak, mengingatkan kita pada tragedi serupa saat Brexit 2016 di Brebes.Â
Kejadian-kejadian memilukan ini menggambarkan masalah yang lebih besar: kemacetan parah di Indonesia mencerminkan kegagalan sistematis dalam perencanaan dan pengembangan infrastruktur.
Pola Berulang: Ketidakmampuan Menghadapi Lonjakan yang Dapat Diprediksi
Kasus kemacetan parah di Puncak pada September 2024, di mana 140.000 kendaraan melintas dalam kurun waktu 24 jam, bukanlah sebuah kejadian terisolasi.
Ini adalah akibat dari pola yang terus berulang: ketidakmampuan infrastruktur kita untuk mengatasi lonjakan lalu lintas yang sebenarnya dapat diprediksi, seperti saat libur panjang atau akhir pekan.
Tragedi Brexit di Brebes pada 2016 juga menggambarkan masalah serupa, di mana infrastruktur transportasi tidak mampu menangani arus mudik yang meningkat secara signifikan.
Fenomena ini dapat dijelaskan melalui lensa Teori Sistem Sosio-Teknikal, yang menekankan pada interaksi antara sistem sosial dan teknis dalam masyarakat (Trist, 1981).
Kemacetan parah mencerminkan kegagalan dalam interaksi ini, di mana infrastruktur teknis (jalan raya, sistem manajemen lalu lintas) tidak dapat mengakomodasi perilaku dan kebutuhan sosial (peningkatan mobilitas saat libur).