Seperti yang disoroti dalam laporan Bank Dunia, "Strengthening the Disaster Resilience of Indonesian Cities" (2019), perencanaan infrastruktur yang lebih baik dan terintegrasi dengan manajemen risiko bencana dapat mengurangi kerentanan kota-kota kita terhadap krisis, termasuk kemacetan parah yang melumpuhkan.
Analogi sederhana untuk memahami fenomena ini adalah membayangkan infrastruktur transportasi sebagai sistem pipa air.
Ketika permintaan air meningkat secara tiba-tiba melebihi kapasitas pipa, tekanan yang berlebihan akan menyebabkan kebocoran atau bahkan ledakan.
Demikian pula, ketika volume lalu lintas melonjak melampaui kapasitas jalan, kemacetan parah tidak terhindarkan.
Namun, perbedaan krusialnya adalah lonjakan permintaan transportasi seringkali dapat diprediksi berdasarkan pola historis dan kalender, sehingga seharusnya dapat diantisipasi dan dimitigasi melalui perencanaan yang cermat.
Solusi Sementara vs Perencanaan Jangka Panjang
Sayangnya, respons pemerintah terhadap kemacetan seringkali bersifat reaktif dan sementara, daripada proaktif dan sistematis.
Contohnya adalah penerapan sistem satu arah atau "one way" saat arus balik libur panjang.
Meskipun kebijakan ini mungkin memberikan sedikit kelegaan sesaat, pada akhirnya ia hanya menggeser masalah ke tempat lain dan tidak mengatasi akar penyebab kemacetan.
Ibarat minum obat pereda nyeri untuk menyembuhkan penyakit kronis, solusi semacam ini hanya menyamarkan gejala tanpa menyembuhkan penyakitnya.
Yang kita perlukan adalah perencanaan infrastruktur transportasi yang terintegrasi dan berwawasan jangka panjang.
Studi "Transportation Policies for Jakarta's Congestion" oleh Sitanggang dan Saribanon (2017) menekankan pentingnya kebijakan transportasi yang komprehensif dan saling terkait.