Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno Pilihan

Digital Hoarding: Mengapa Kita Sulit Menghapus Email?

13 September 2024   14:58 Diperbarui: 13 September 2024   14:59 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi inbox email yang kepenuhan. (Gambar diolah dengan DallE)

Saya punya kebiasaan aneh. Saya suka menyimpan barang-barang yang sebenarnya sudah tidak berguna. Entah itu struk belanja minimarket dari beberapa bulan lalu, brosur promosi rumah subsidi yang sudah kadaluarsa, atau bahkan bungkus permen bekas. 

Tapi ternyata, kebiasaan ini tidak hanya terjadi di dunia nyata. Di dunia digital pun, saya melihat kita punya kecenderungan yang sama.

Gmail yang penuh dan tidak bisa menerima pesan baru ini mengingatkan saya pada fenomena yang disebut para ahli sebagai "digital hoarding" atau penimbunan digital.

Ini bukan hanya masalah teknis, tapi juga mencerminkan perilaku psikologis yang menarik untuk dibahas.

Google memberikan kita 15 GB ruang penyimpanan gratis. Itu setara dengan ribuan email atau ratusan foto berkualitas tinggi.

Tapi kenapa masih bisa penuh? Jawabannya ternyata sederhana: kita terlalu takut kehilangan.

Para ahli menyebut ini sebagai "attachment and anxiety" atau keterikatan dan kecemasan.

Menurut Sillence dkk. (2023), kita sering merasa cemas jika harus menghapus email, khawatir akan kehilangan informasi penting atau kenangan berharga. Padahal, sebenarnya berapa banyak dari email-email itu yang benar-benar penting dan kita baca ulang?

Fenomena ini mirip dengan hoarding disorder (gangguan penimbunan). Dikutip dari Alodokter, hoarding disorder adalah gangguan psikologi di mana seseorang sangat sulit membuang atau berpisah dengan barang-barang. Seringkali mengumpulkan benda-benda yang sebenarnya tidak diperlukan karena merasa barang terseut masih bernilai atau akan berguna nanti.

Renschler dan Freeman (2022) menjelaskan bahwa kesulitan membuang file-file digital ini mirip dengan orang yang sulit membuang barang fisik di rumahnya. Bedanya, kalau di rumah bisa terlihat berantakan, di Gmail kita tidak sadar sampai tiba-tiba muncul peringatan "penyimpanan penuh".

Tapi mengapa seseorang dapat menjadi digital hoarder? Salah satu penyebabnya adalah perkembangan teknologi yang makin memudahkan penggunanya.

Sedera dkk. (2022) mengatakan bahwa penyimpanan digital yang murah dan mudah diakses membuat kita jadi gampang menimbun email. Tidak ada konsekuensi yang langsung dirasakan. Jadi kita terus saja menyimpan file, tanpa sadar bahwa kita sedang menyicil kekacauan, giga demi giga.

Di tempat kerja, masalahnya bisa jadi lebih parah. Neave dkk. (2019) menemukan bahwa orang-orang yang punya tanggung jawab melindungi data cenderung lebih suka menyimpan email, dengan alasan mengikuti aturan atau administrasi pencatatan. Alhasil, inbox mereka lebih mirip gudang arsip digital yang tak berujung.

Lalu apa dampaknya?

Selain masalah teknis seperti Gmail yang tidak bisa menerima pesan baru, ada juga risiko keamanan siber. Sillence dkk. (2023) memperingatkan bahwa penimbunan data digital bisa meningkatkan risiko kebocoran informasi.

Belum lagi dampaknya terhadap lingkungan. Semakin banyak data yang kita simpan, semakin besar pula kebutuhan akan server penyimpanan data, yang tentunya membutuhkan energi lebih banyak.

Yang lebih mengkhawatirkan lagi, Sweeten dkk. (2018) menemukan bahwa kecemasan terkait penimbunan file digital ini bisa berdampak pada kesehatan mental kita. Ada rasa kesulitan dan stres yang muncul ketika kita harus memfilter ribuan email untuk menentukan mana yang harus dihapus.

Jadi, apa yang harus kita lakukan? Solusi yang ditawarkan seperti menghapus file besar atau membeli kapasitas tambahan memang bisa membantu secara teknis. Tapi itu seperti mengobati gejala, bukan penyebabnya.

Mungkin kita perlu mulai memikirkan hubungan kita dengan data digital. Apakah kita benar-benar membutuhkan semua email itu? Atau kita hanya takut kehilangan? Mungkin sudah saatnya kita belajar untuk "melepaskan" dan mulai memilah mana informasi yang benar-benar penting.

Saya sendiri mulai mencoba untuk lebih rapi dalam menyimpan email. Setiap akhir bulan, saya akan menyisihkan waktu untuk "bersih-bersih digital". Rasanya seperti terapi, melepaskan beban yang tidak perlu.

Jadi di lain waktu, saat Anda melihat peringatan Gmail penuh, jangan langsung panik. Anggap saja itu sebagai pengingat untuk mulai mengatur tempat kerja digital Anda agar lebih ringkas.

Karena pada akhirnya, kebahagiaan bukan hanya soal seberapa banyak yang kita miliki, tapi seberapa bebas kita dari keterikatan terhadap sesuatu hal yang tidak perlu.

Referensi:
Sedera, D. , Lokuge, S. , & Grover, V.  (2022). Modern-day hoarding:  A model for understanding and measuring digital hoarding. The Information Manager, 59(8), 103700. https:  //doi.  org/10.  1016/j.  im.  2022.  103700

Neave, N. , Briggs, P. , McKellar, K. , & Sillence, E.  (2019). Digital hoarding behaviours:  Measurement and evaluation. Computers in Human Behavior, 96, 72-77. https:  //doi.  org/10.  1016/j.  chb.  2019.  01.  037

Sillence, E. , Dawson, J.  A. , Brown, R.  D. , McKellar, K. , & Neave, N.  (2023). Digital hoarding and personal use digital data. Human-Computer Interaction. https:  //doi.  org/10.  1080/07370024.  2023.  2293001

Sweeten, G. , Sillence, E. , & Neave, N.  (2018). Digital hoarding behaviours:  underlying motivations and potential negative consequences. Computers in Human Behavior, 85, 54-60. https:  //doi.  org/10.  1016/j.  chb.  2018.  03.  031

Renschler, K. , & Freeman, J.  (2022). Digital hoarding:  A new subtype of traditional hoarding disorder?. The Brown University Child and Adolescent Behavior Letter, 39(2), 1-4. https:  //doi.  org/10.  1002/cbl.  30686

https: //www.alodokter. com/hoarding-disorder

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun