Mungkin kita perlu melihat lebih dekat apa yang dilakukan Singapura. Mereka tidak hanya memberikan perlindungan dasar, tapi juga mempertimbangkan aspek-aspek seperti asuransi cedera kerja dan hak untuk berorganisasi.Â
Ini bukan sekadar undang-undang, tapi pengakuan bahwa pekerja platform adalah bagian yang menyatu dalam struktur dari ekonomi negara.Â
Saya tidak mengatakan bahwa kita harus meniru mentah-mentah apa yang dilakukan Singapura. Setiap negara punya konteks dan tantangan uniknya sendiri.Â
Tapi setidaknya, langkah Singapura ini bisa menjadi cermin bagi kita. Cermin yang menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin. Bahwa pemerintah bisa melakukan tindakan yang lebih baik untuk melindungi para pekerja gig dan digital kita.Â
Jadi, kapan Indonesia akan mengambil langkah serupa? Apakah kita harus menunggu sampai masalah ini menjadi krisis?Â
Atau mungkin kita bisa mulai dari sekarang, dengan diskusi terbuka antara pemerintah, perusahaan platform, dan tentu saja, para pekerja itu sendiri?Â
Saya yakin, jika Pemerintah kita serius dan punya political will dalam hal ini, Indonesia bisa membuat undang-undang yang bahkan lebih baik dari Singapura.Â
Kita punya pengalaman, kita punya sumber daya manusia yang hebat, dan yang terpenting, kita punya jutaan pekerja platform yang menunggu untuk dilindungi.
Jadi, kapan Pemerintah mulai bergerak? Karena setiap hari yang kita lewatkan tanpa perlindungan yang memadai adalah hari di mana Pemerintah gagal melindungi warga negara sendiri. Bukankah itu, pada akhirnya, adalah tugas utama sebuah negara?
Referensi:
Murazak, F., & Dewi, M. P. (2023). Kedudukan dan Pelindungan Hukum Pekerja Platform Digital Berdasarkan Peraturan Ketenagakerjaan di Indonesia. UGM Repository. https: Â //etd. Â repository. Â ugm. Â ac. Â id/penelitian/detail/225749
Oey, W. (2024). Misklasifikasi Hubungan Kerja Pengemudi Ojek Online. UNPAR Journal. https: Â //journal. Â unpar. Â ac. Â id/index. Â php/veritas/article/download/7722/4376/25928