Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Money

UU Pekerja Gig: Singapura Berkembang, Indonesia Masih Bimbang

12 September 2024   20:24 Diperbarui: 12 September 2024   20:37 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ojek online .(SHUTTERSTOCK/SUKARMAN) 

Saat saya membaca berita tentang Singapura yang baru saja mengesahkan undang-undang khusus untuk melindungi pekerja platform digital, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak membandingkannya dengan situasi di Indonesia. 

Sungguh ironis, negara tetangga kita yang lebih kecil sudah selangkah lebih maju dalam hal ini, sementara kita masih tertatih-tatih di belakang. 

Undang-undang baru Singapura ini bukan sekadar formalitas belaka. Ini adalah langkah besar yang mengakui pekerja platform sebagai kelas pekerja tersendiri, berbeda dari pekerja mandiri biasa. 

Artinya apa? Mereka akan mendapat perlindungan hukum yang lebih baik, kontribusi jaminan sosial yang lebih tinggi, dan bahkan hak untuk membentuk serikat pekerja. 

Bayangkan betapa leganya para pengemudi ojek online atau kurir makanan di sana. 

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kita punya jutaan pekerja platform, tapi perlindungan hukum mereka masih abu-abu. 

Menurut penelitian Farhan Murazak dan Dr. Murti Pramuwardhani Dewi (2023), pekerja platform di Indonesia sering kali tidak mendapatkan hak-hak dasar mereka karena terjebak dalam perjanjian kerja lisan dan peraturan yang terlalu kaku. Ini seperti membiarkan mereka berenang di lautan tanpa pelampung, berharap mereka tidak tenggelam. 

Pertanyaannya, mengapa Indonesia belum bisa melakukan hal yang sama seperti Singapura? Apakah kita kurang peduli? Atau mungkin terlalu sibuk dengan hal-hal lain? 

Williams Oey (2024) dalam penelitiannya menyoroti adanya salah penggolongan hubungan kerja pengemudi ojek online di Indonesia. Ini bukan masalah sepele. Ketika kita salah mengklasifikasikan pekerja, kita juga salah dalam memberikan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan. 

Saya paham, membuat undang-undang baru bukanlah perkara mudah. Ada banyak kepentingan yang harus dipertimbangkan, dari perusahaan platform hingga konsumen. 

Tapi bukankah Singapura juga menghadapi tantangan serupa? Mereka berhasil melewatinya, bahkan dengan dukungan dari berbagai partai politik. Ini menunjukkan bahwa di mana ada kemauan, di situ ada jalan. 

Mungkin kita perlu melihat lebih dekat apa yang dilakukan Singapura. Mereka tidak hanya memberikan perlindungan dasar, tapi juga mempertimbangkan aspek-aspek seperti asuransi cedera kerja dan hak untuk berorganisasi. 

Ini bukan sekadar undang-undang, tapi pengakuan bahwa pekerja platform adalah bagian yang menyatu dalam struktur dari ekonomi negara. 

Saya tidak mengatakan bahwa kita harus meniru mentah-mentah apa yang dilakukan Singapura. Setiap negara punya konteks dan tantangan uniknya sendiri. 

Tapi setidaknya, langkah Singapura ini bisa menjadi cermin bagi kita. Cermin yang menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin. Bahwa pemerintah bisa melakukan tindakan yang lebih baik untuk melindungi para pekerja gig dan digital kita. 

Jadi, kapan Indonesia akan mengambil langkah serupa? Apakah kita harus menunggu sampai masalah ini menjadi krisis? 

Atau mungkin kita bisa mulai dari sekarang, dengan diskusi terbuka antara pemerintah, perusahaan platform, dan tentu saja, para pekerja itu sendiri? 

Saya yakin, jika Pemerintah kita serius dan punya political will dalam hal ini, Indonesia bisa membuat undang-undang yang bahkan lebih baik dari Singapura. 

Kita punya pengalaman, kita punya sumber daya manusia yang hebat, dan yang terpenting, kita punya jutaan pekerja platform yang menunggu untuk dilindungi.

Jadi, kapan Pemerintah mulai bergerak? Karena setiap hari yang kita lewatkan tanpa perlindungan yang memadai adalah hari di mana Pemerintah gagal melindungi warga negara sendiri. Bukankah itu, pada akhirnya, adalah tugas utama sebuah negara?

Referensi:
Murazak, F., & Dewi, M. P. (2023). Kedudukan dan Pelindungan Hukum Pekerja Platform Digital Berdasarkan Peraturan Ketenagakerjaan di Indonesia. UGM Repository. https:  //etd.  repository.  ugm.  ac.  id/penelitian/detail/225749

Oey, W. (2024). Misklasifikasi Hubungan Kerja Pengemudi Ojek Online. UNPAR Journal. https:  //journal.  unpar.  ac.  id/index.  php/veritas/article/download/7722/4376/25928

Tempo. (2024, September 12). Singapore Passes Bill Recognizing Platform Workers for Delivery and Ride-hailing as Distinct Labor Class. Tempo.co. https:  //en.  tempo.  co/read/1915201/singapore-passes-bill-recognizing-platform-workers-for-delivery-and-ride-hailing-as-distinct-labor-class

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun