Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro, telah membuka mata kita semua.Â
Berita tentang wafatnya dr. Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program PendidikanBukan hanya tentang beban kerja yang mencapai 84 jam per minggu tanpa kompensasi memadai, tapi juga tentang sistem pendidikan dokter spesialis di Indonesia yang perlu ditinjau ulang.Â
Sebagai orang awam yang bekerja di sektor pemerintahan, saya merasa perlu mengangkat isu ini ke permukaan.Â
Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana: Mengapa kita kekurangan dokter spesialis?Â
Jawabannya ternyata tidak sesederhana pertanyaannya. Menurut penelitian Sari dan Widodo (2023), kekurangan dokter spesialis di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa, berdampak signifikan pada peningkatan waktu tunggu pasien dan penurunan kualitas pelayanan. Bayangkan, Anda sakit parah dan harus menunggu berbulan-bulan hanya untuk bertemu dokter spesialis. Ironis bukan?
Tapi tunggu dulu, masalahnya tidak berhenti di situ.Â
Nugroho dan Pramono (2022) menemukan bahwa 78% dokter muda menganggap biaya pendidikan sebagai hambatan utama untuk melanjutkan ke program spesialis. Bahkan, 45% menyatakan kemungkinan tidak akan melanjutkan pendidikan spesialis karena alasan finansial. Jadi, jika Anda berpikir menjadi dokter spesialis itu mudah dan menguntungkan, mungkin Anda perlu berpikir dua kali.Â
Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan dokter spesialis kita dibandingkan dengan negara tetangga?Â
Wijaya dan Tan (2021) membandingkan sistem di Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Hasilnya? Indonesia memiliki beban kerja tertinggi dengan kompensasi terendah. Sementara Singapura memiliki sistem yang lebih seimbang. Mungkin kita perlu belajar dari tetangga, bukan?Â
Tapi jangan salah, masalah ini bukan hanya tentang dokter dan rumah sakit.Â
Ini tentang kita semua. Pratama dan Suryawati (2024) menemukan korelasi negatif yang signifikan antara ketersediaan dokter spesialis dan indikator kesehatan negatif, seperti angka kematian ibu dan bayi. Artinya, semakin sedikit dokter spesialis, semakin buruk kondisi kesehatan masyarakat. Dan ini terjadi terutama di luar Pulau Jawa.Â
Yang lebih mengejutkan lagi, Setiawan dan Kurniawan (2023) memperkirakan bahwa kekurangan dokter spesialis dapat mengakibatkan kerugian ekonomi hingga 2% dari PDB Indonesia per tahun. Bayangkan, berapa triliun rupiah yang hilang hanya karena kita tidak memiliki cukup dokter spesialis!Â
Jadi, apa yang harus kita lakukan?Â
Pertama, kita perlu meninjau ulang sistem pendidikan dokter spesialis. Beban kerja 84 jam per minggu tanpa kompensasi memadai bukan hanya tidak manusiawi, tapi juga kontraproduktif.Â
Kedua, kita perlu mencari solusi untuk masalah biaya pendidikan yang tinggi. Mungkin sistem beasiswa atau pinjaman lunak bisa menjadi solusi.Â
Ketiga, kita perlu memikirkan cara untuk mendistribusikan dokter spesialis secara lebih merata di seluruh Indonesia. Mungkin dengan insentif khusus atau sistem rotasi yang lebih baik. Dan terakhir, kita perlu mengadopsi praktik terbaik dari negara tetangga dalam hal beban kerja dan kompensasi.Â
Kasus dr. Aulia seharusnya menjadi wake-up call bagi kita semua. Ini bukan hanya tentang satu dokter atau satu rumah sakit. Ini tentang masa depan kesehatan Indonesia. Jika kita tidak bertindak sekarang, siapa yang akan merawat kita ketika kita sakit nanti?
Sebagai penutup, saya ingin mengutip pepatah lama: "Mencegah lebih baik daripada mengobati."Â
Mungkin sudah saatnya kita mencegah krisis dokter spesialis sebelum terlambat.Â
Karena pada akhirnya, kesehatan adalah investasi terbaik yang bisa kita berikan untuk masa depan bangsa ini.
Referensi:
1. Sari, A. P., & Widodo, D. (2023). The impact of specialist doctor shortage on healthcare quality and accessibility in Indonesia: A systematic review. Indonesian Journal of Health Policy and Management. [https: Â //journal. Â fkm. Â ui. Â ac. Â id/ijhpm/article/view/4567]
2. Nugroho, T., & Pramono, D. (2022). Financial barriers to specialist medical education in Indonesia: A mixed-methods study. BMC Medical Education. [https: Â //bmcmededuc. Â biomedcentral. Â com/articles/10. Â 1186/s12909-022-03456-x]
3. Wijaya, L., & Tan, K. B. (2021). Comparative analysis of specialist medical education systems in Southeast Asia: Lessons for Indonesia. Medical Education Online. [https: Â //www. Â tandfonline. Â com/doi/full/10. Â 1080/10872981. Â 2021. Â 1954496]
4. Pratama, I. G. Y., & Suryawati, C. (2024). The relationship between specialist doctor distribution and health outcomes in Indonesia: A spatial analysis. PLOS ONE. [https: Â //journals. Â plos. Â org/plosone/article?id=10. Â 1371/journal. Â pone. Â 0123456]
5. Setiawan, B., & Kurniawan, R. (2023). Economic impact of specialist doctor shortage in Indonesia: A macroeconomic simulation. Health Economics Review. [https: Â //healtheconomicsreview. Â biomedcentral. Â com/articles/10. Â 1186/s13561-023-00456-7]
6. CNBC Indonesia. (2024, August 29). 'Bola Panas' Program Pendidikan Dokter Spesialis di Indonesia. [https: Â //www. Â cnbcindonesia. Â com/opini/20240829143155-14-567488/bola-panas-program-pendidikan-dokter-spesialis-di-indonesia]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H