Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Makassar

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Kalkulasi Politik PDI-P, Memadukan Identitas Daerah dan Daya Tarik Selebriti

30 Agustus 2024   17:08 Diperbarui: 30 Agustus 2024   17:15 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PDIP usung Jeje Wiradinata dan Ronal Surapradja dalam Pilgub Jawa Barat 2024. (Wikimedia/Tangkapan layar Instagram @rocknal) 

Dunia politik Indonesia kembali dihebohkan oleh manuver mengejutkan PDI-P menjelang penutupan pendaftaran calon kepala daerah Jawa Barat. 

Partai berlambang banteng ini memutuskan mengusung pasangan Jeje Wiradinata dan Ronal Sunandar Surapradja, menggeser nama-nama yang sebelumnya digadang-gadang seperti Anies Baswedan dan kader internal Ono Surono. 

Keputusan ini tentu mengundang banyak tanya. 

Apakah ini langkah brilian atau justru blunder politik? 

Jika kita menilik dari kacamata Teori Pemilihan Rasional yang dikemukakan oleh Green dan Shapiro (1994), keputusan PDI-P ini bisa dilihat sebagai kalkulasi rasional untuk memaksimalkan peluang kemenangan. Bisa jadi, partai melihat potensi elektabilitas Jeje-Ronal lebih menjanjikan dibanding calon lainnya. Namun, apakah benar demikian? 

Bukankah Anies Baswedan memiliki popularitas yang jauh lebih tinggi? 

Di sinilah kita perlu mempertimbangkan faktor lain, yakni identitas kedaerahan. 

Teori Identitas Sosial dalam Politik yang dipaparkan Huddy (2001) menjelaskan bahwa identitas sosial, termasuk asal daerah, dapat mempengaruhi perilaku politik. Jeje Wiradinata yang berasal dari Pangandaran mungkin dianggap PDI-P sebagai kartu as untuk merebut hati pemilih Jawa Barat, khususnya di wilayah selatan. 

Tapi tunggu dulu, bagaimana dengan Ronal Surapradja? Apa peran seorang selebriti dalam dunia politik? 

Wheeler (2013) dalam teorinya tentang Selebriti Politik menjelaskan fenomena selebriti yang terjun ke politik dan dampaknya. Pencalonan Ronal bisa jadi merupakan strategi jitu PDI-P untuk menjangkau pemilih milenial dan Gen Z. Bayangkan saja, berapa banyak penggemar Ronal yang akan beralih menjadi pendukung setia? 

Namun, apakah mengandalkan popularitas selebriti cukup untuk memenangkan Pilkada? Tentu tidak sesederhana itu. 

Hameleers (2021) dalam teori Positioning Politik-nya menjelaskan bahwa partai politik perlu memposisikan diri secara tepat untuk menarik pemilih. Pemilihan Jeje-Ronal oleh PDI-P bisa dilihat sebagai upaya positioning yang unik di Jawa Barat. Mereka mencoba menggabungkan unsur lokalitas dengan sentuhan glamor selebriti. 

Lantas, bagaimana strategi kampanye yang akan dijalankan? 

De Vreese (2010) dalam Teori Kampanye Politik-nya menegaskan bahwa profil dan latar belakang calon akan sangat mempengaruhi strategi kampanye. PDI-P tentu harus jeli memanfaatkan kekuatan Jeje sebagai tokoh lokal dan Ronal sebagai magnet pemilih muda. 

Menariknya, keputusan PDI-P ini seolah menggabungkan semua teori di atas dalam satu paket. 

Mereka mempertimbangkan rasionalitas elektabilitas, memanfaatkan identitas kedaerahan, menggunakan daya tarik selebriti, memposisikan diri secara unik, dan merancang strategi kampanye yang disesuaikan. 

Namun, apakah ini berarti PDI-P telah membuat keputusan yang tepat? Waktu yang akan menjawab. 

Yang pasti, manuver ini telah mengubah peta politik Jawa Barat secara signifikan. Rival-rival politik PDI-P kini harus memikirkan ulang strategi mereka. 

Bagi kita sebagai masyarakat, fenomena ini menjadi pelajaran berharga tentang dinamika politik lokal. Kita diingatkan bahwa dalam politik, tidak ada yang pasti hingga detik-detik terakhir. Keputusan bisa berubah dalam hitungan menit, mengubah konstelasi politik secara dramatis. 

Yang terpenting, sebagai pemilih, kita harus tetap kritis dan rasional. Jangan mudah terpesona oleh gemerlapnya selebriti atau terbuai janji-janji manis kampanye. 

Mari kita nilai calon pemimpin kita berdasarkan visi, misi, dan kapabilitas mereka dalam memajukan Jawa Barat. 

Pada akhirnya, pilkada bukan sekadar kontes popularitas atau pertarungan strategi partai. 

Ini adalah momen krusial di mana rakyat Jawa Barat, menentukan masa depan provinsi mereka. 

Jadi, mari kita saksikan drama politik ini dengan seksama, sambil tetap bijak dalam menentukan pilihan.

Referensi:
Green, D. P. , & Shapiro, I. (1994). Rational Choice Theory in Political Science: Promises and Problems. Critical Review, 8(1), 1-20. https:  //www.  jstor.  org/stable/2944882

Huddy, L. (2001). Social Identity Theory and Political Psychology. In D. O. Sears, L. Huddy, & R. Jervis (Eds. ), Oxford Handbook of Political Psychology. Oxford University Press. https:  //www.  oxfordhandbooks.  com/view/10. 1093/oxfordhb/9780199760107. 001. 0001/oxfordhb-9780199760107-e-6

Wheeler, M. (2013). Celebrity Politics: Trends and Implications. Political Studies Review, 11(3), 347-358. https:  //www.  tandfonline.  com/doi/abs/10. 1080/15377857. 2013. 776223

Hameleers, M. (2021). Political Positioning: The Origin of Postmodern Politics. Cogent Social Sciences, 7(1), 1878180. https:  //www.  tandfonline.  com/doi/full/10. 1080/23311886. 2021. 1878180

de Vreese, C. H. (2010). Theories of Political Campaigns. In The International Encyclopedia of Communication. John Wiley & Sons. https:  //onlinelibrary.  wiley.  com/doi/abs/10. 1002/9781444361506. wbiems116

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun