Ketika istilah "tone deaf" meluncur dari ranah musik ke dalam percakapan sosial, kita tidak hanya berbicara tentang ketidakmampuan seseorang untuk menangkap nada.Â
Tetapi juga tentang ketidakpekaan terhadap perasaan dan konteks sosial yang sedang berlangsung.Â
Dalam masyarakat yang semakin terhubung melalui media sosial, fenomena ini menjadi semakin relevan.Â
Banyak dari kita pasti pernah berurusan dengan teman atau kenalan yang tampaknya tidak peka terhadap situasi yang kita hadapi.Â
Mereka mungkin tidak menyadari bahwa komentar atau tindakan mereka dapat menyakiti orang lain.Â
Pertanyaannya adalah, bagaimana kita seharusnya menghadapi orang-orang ini dan apa implikasinya terhadap hubungan interpersonal kita?
Dalam konteks Indonesia, strategi coping yang efektif dalam menghadapi teman yang dianggap "tone deaf" menjadi penting.Â
Penelitian oleh Siti Nurhaliza dan Ade Hidayat (2022) menunjukkan bahwa mahasiswa menggunakan berbagai strategi coping, termasuk pendekatan yang berfokus pada masalah dan emosi. Ini menunjukkan bahwa kita dapat mengadaptasi pendekatan serupa dalam interaksi sosial kita.Â
Misalnya, ketika berhadapan dengan komentar yang tidak peka, kita bisa memilih untuk tetap tenang dan menjelaskan bagaimana perasaan kita tanpa menyerang. Pendekatan ini tidak hanya membantu menjaga hubungan, tetapi juga dapat meningkatkan kesadaran teman kita akan dampak dari kata-kata mereka.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama untuk merespons umpan balik.Â
Banyak individu yang "tone deaf" cenderung defensif ketika diberi masukan. Hal ini dapat menciptakan ketegangan dalam hubungan dan menghambat pertumbuhan pribadi. Dalam hal ini, kita perlu mempertimbangkan nilai-nilai budaya dan norma sosial Indonesia yang mungkin mempengaruhi toleransi kita terhadap perilaku semacam ini.Â