Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Reformasi Hukum Gagal Menaklukkan Bandit Korupsi yang Mengakar?

23 Agustus 2024   17:23 Diperbarui: 23 Agustus 2024   17:23 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kita berbicara tentang korupsi di Indonesia, ibaratkan saja kita sedang membahas sebuah drama epik yang tak pernah usai. Di panggung utama, kita memiliki dua aktor utama yang selalu memainkan peran mereka dengan lihai: "roving bandits" dan "stationary bandits".

Keduanya telah menjadi pengganggu dalam demokrasi kita, seakan-akan mengingatkan kita bahwa kebebasan dan kemakmuran yang dijanjikan saat kemerdekaan masih jauh dari kenyataan.

Pertanyaannya sekarang, apakah reformasi politik dan hukum yang telah kita lakukan mampu membatasi kekuasaan mereka, atau justru kita hanya berputar-putar dalam lingkaran setan?

Mari kita mulai dengan memahami siapa "roving bandits" dan "stationary bandits" ini. Istilah ini dipopulerkan oleh Mancur Olson, seorang ilmuwan politik yang mencoba menggambarkan dua tipe aktor korup yang mendominasi negara-negara yang lemah secara institusional.

"Roving bandits" adalah mereka yang berpindah-pindah, mengambil segala sesuatu yang bisa mereka bawa dalam waktu singkat. Di Indonesia, mereka ini adalah para penguasa jangka pendek, yang mungkin datang dan pergi dalam politik atau bisnis, tetapi meninggalkan jejak kehancuran di mana pun mereka berada.

Sementara itu, "stationary bandits" adalah aktor yang lebih berbahaya dan sering kali lebih sulit dihadapi. Mereka menetap, mengakar dalam sistem, dan mengontrol sumber daya dalam jangka panjang.

Mereka adalah para politisi dan birokrat yang memahami bahwa mereka tidak bisa menghisap habis-habisan dalam waktu singkat. Jadi, mereka memilih untuk melakukannya secara perlahan tapi pasti, memastikan kekayaan mereka terus bertambah tanpa merusak sumber daya yang mereka kontrol.

Reformasi politik dan hukum yang digadang-gadang sebagai solusi untuk masalah korupsi ini sering kali hanya menjadi angin lalu.

Dari perspektif teoretis, reformasi seharusnya memperbaiki sistem checks and balances, seperti yang dijelaskan dalam artikel "Paradigma Checks and Balances dalam Hubungan Eksekutif-Legislatif".

Namun kenyataannya, meskipun ada amandemen konstitusi dan pembaruan hukum, para "stationary bandits" ini justru sering kali berhasil menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Mereka memperkuat cengkeraman mereka dengan memanfaatkan celah-celah yang ada dalam sistem baru, memastikan bahwa kekuasaan mereka tetap tak tersentuh.

Di sisi lain, upaya untuk mengatasi "roving bandits" tampaknya lebih berhasil. Kebijakan jangka pendek yang diterapkan oleh pemerintah, seperti pemberantasan korupsi dan reformasi di sektor tertentu, mampu meminimalisir dampak langsung yang ditimbulkan oleh kelompok ini.

Namun, keberhasilan ini tidak cukup untuk menangani masalah korupsi secara keseluruhan, karena selama "stationary bandits" masih berkuasa, perubahan yang terjadi hanya bersifat kosmetik.

Artikel dari Rumah Pemilu yang berjudul "Reformasi Politik: Kunci Masa Depan Demokrasi Indonesia Pasca Pemilu 2024" menyoroti bagaimana reformasi politik sering kali terganjal oleh kepentingan kelompok yang kuat. Artikel ini mengingatkan kita bahwa reformasi hanyalah sekadar mimpi jika tidak ada kemauan politik yang kuat untuk memutus rantai kekuasaan yang sudah terbangun selama puluhan tahun.

"Stationary bandits" ini memiliki kepentingan jangka panjang yang tidak mudah diubah. Mereka akan terus mencari cara untuk mempertahankan posisi mereka, meskipun sistem hukum dan politik telah diubah.

Satu hal yang menarik dari dinamika ini adalah bagaimana masyarakat Indonesia, yang sudah muak dengan praktik korupsi, sering kali menjadi pasif. Meskipun banyak yang melek teknologi dan mengikuti berita terkini, banyak juga yang merasa putus asa dengan kondisi politik dan memilih untuk tidak berpartisipasi dalam upaya perubahan.

Hal ini tentunya memperburuk situasi, karena tanpa tekanan publik yang kuat, reformasi politik hanya akan berjalan setengah hati.

Kita bisa melihat refleksi dari situasi ini dalam artikel "Corruption and Banditry within the State" yang diterbitkan oleh Binus University. Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk memberantas korupsi, kekuasaan "stationary bandits" tetap bertahan karena mereka telah menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada.

Mereka bukan lagi sekadar parasit, tetapi telah menjadi bagian dari ekosistem pemerintahan yang sulit dihilangkan tanpa perubahan mendasar.

Jadi, apakah reformasi politik dan hukum efektif dalam membatasi kekuasaan "stationary bandits" dibandingkan dengan "roving bandits"?

Jawaban singkatnya adalah tidak. Reformasi yang ada saat ini tampaknya lebih efektif dalam menangani "roving bandits", tetapi gagal total dalam menghadapi "stationary bandits". Perubahan yang diperlukan adalah lebih dari sekadar perbaikan sistem hukum dan politik; kita membutuhkan transformasi yang lebih mendasar yang mampu memutus mata rantai kekuasaan yang sudah terbangun selama puluhan tahun.

Namun, apakah ini berarti kita harus menyerah?

Tentu saja tidak.

Harapan tetap ada, terutama jika masyarakat sipil mulai bangkit dan menuntut perubahan yang nyata. Meskipun jalannya panjang dan penuh rintangan, reformasi yang sejati adalah satu-satunya jalan menuju demokrasi yang sehat dan bebas dari cengkeraman para bandit.

Tulisan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua, bahwa korupsi bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan mudah. Butuh kemauan politik yang kuat, partisipasi publik yang aktif, dan perubahan sistemik yang mendasar untuk mengatasi masalah ini.

Jika tidak, kita hanya akan terus berputar dalam lingkaran setan, di mana "roving bandits" dan "stationary bandits" akan terus merajalela, sementara harapan untuk masa depan yang lebih baik semakin memudar.

Referensi: 

  • 1. Rumah Pemilu. (2024). Reformasi politik: Kunci masa depan demokrasi Indonesia pasca pemilu 2024. Diakses dari https:  //rumahpemilu.  org/reformasi-politik-kunci-masa-depan-demokrasi-indonesia-pasca-pemilu-2024/ 
  • 2. Hukumonline. (2024). Paradigma checks and balances dalam hubungan eksekutif-legislatif. Diakses dari https:  //www.  hukumonline.  com/berita/a/paradigma-checks-and-balances-dalam-hubungan-eksekutif-legislatif-hol4125 
  • 3. Binus University. (2014). Corruption and banditry within the state. Diakses dari https:  //ir.  binus.  ac.  id/2014/05/25/corruption-and-banditry-within-the-state/ 
  • 4. Foundation for Economic Education. (2017). Are democracies roving or stationary bandits? Diakses dari https:  //fee.  org/articles/are-democracies-roving-or-stationary-bandits/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun