Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Lainnya - ASN | Narablog sejak 2010

Introvert, Millenial, Suka belajar hal-hal baru secara otodidak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Revisi UU Pilkada: Apakah Suara Rakyat Masih Didengar?

23 Agustus 2024   11:00 Diperbarui: 23 Agustus 2024   11:03 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana demonstrasi menolak Revisi RUU Pilkada 2024, di depan gedung DPRD Sulsel, Makassar. (Kompas.com/Darsil Yahya)

Ketika kita berbicara tentang demonstrasi yang menolak revisi UU Pilkada di Indonesia, kita sedang membicarakan sesuatu yang jauh lebih besar daripada sekadar keramaian di jalanan.

Kita sedang melihat refleksi dari ketegangan antara rakyat dan penguasa, antara aspirasi demokratis dan keinginan untuk mengontrol.

Berita bahwa media asing menyoroti demo ini memperlihatkan betapa pentingnya isu ini, tidak hanya untuk Indonesia, tetapi juga di mata dunia.

Pertanyaannya, apakah demonstrasi ini benar-benar akan mempengaruhi proses legislasi di Indonesia?

Sebelum kita masuk ke dalam inti permasalahan, penting untuk memahami konteks mengapa revisi UU Pilkada ini memicu kemarahan publik. Revisi ini dianggap banyak pihak sebagai langkah mundur dari demokrasi, karena bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang seharusnya dihormati.

Namun, tampaknya pemerintah dan DPR memiliki agenda lain, dan inilah yang memicu reaksi keras dari masyarakat.

Dalam konteks yang lebih luas, kita melihat bahwa ruang untuk protes dan aktivisme di Indonesia semakin menyempit. 

Menurut artikel di Carnegie Endowment yang berjudul "Indonesia’s Shrinking Civic Space for Protests and Digital Activism," pemerintah semakin mengontrol narasi publik dan mengurangi ruang bagi kritik melalui regulasi yang ketat, terutama di dunia digital.

Hal ini penting karena menunjukkan bahwa demonstrasi seperti ini, meskipun besar dan penuh semangat, dihadapkan pada tantangan besar. Ketika pemerintah mampu mengendalikan media dan opini publik, seberapa jauh suara demonstran bisa terdengar?

Di sisi lain, artikel di The Diplomat dengan judul "In the Midst of Protest, Hopes of Reform in Indonesia" menggarisbawahi bahwa demonstrasi di Indonesia sering kali menjadi pemicu bagi reformasi.

Kita hanya perlu melihat ke belakang, pada gerakan reformasi 1998, untuk melihat bagaimana tekanan dari jalanan bisa menggulingkan rezim dan membawa perubahan besar. Apakah hal yang sama bisa terjadi dengan revisi UU Pilkada?

Mungkin, tapi jalannya tidak akan mudah.

Salah satu dampak potensial dari demonstrasi ini adalah bagaimana ia memaksa pemerintah dan DPR untuk berhenti sejenak dan mempertimbangkan kembali langkah mereka. Ketika ratusan ribu orang turun ke jalan, mereka tidak hanya menyuarakan ketidakpuasan, tetapi juga menunjukkan bahwa ada kekuatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Sejarah menunjukkan bahwa ketika massa sudah bergerak, pemerintah perlu memperhitungkan langkah mereka dengan hati-hati.

Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap realitas bahwa proses legislasi di Indonesia sering kali tidak terpengaruh langsung oleh suara rakyat.

Kekuasaan politik dan ekonomi yang terpusat di partai dan koalisi politik, sering kali menjadi penentu utama dari kebijakan yang diambil.

Demonstrasi yang menolak revisi UU Pilkada ini mungkin tidak segera menghentikan proses legislasi yang menyimpang dari praktik demokrasi yang sehat. Namun, bisa menjadi batu sandungan yang memperlambat atau memaksa perubahan di dalam proses tersebut.

Ada juga aspek internasional yang perlu dipertimbangkan. Ketika media asing menyoroti demonstrasi ini, itu menunjukkan bahwa dunia memperhatikan.

Ini bisa menjadi pedang bermata dua bagi pemerintah.

Di satu sisi, perhatian internasional bisa memaksa pemerintah untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang kontroversial.

Di sisi lain, pemerintah mungkin justru semakin keras kepala untuk menunjukkan bahwa mereka tidak tunduk pada tekanan, baik dari dalam maupun luar negeri.

Pada akhirnya, penting untuk diingat bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang statis. Ia selalu berubah, selalu beradaptasi dengan kondisi zaman.

Demonstrasi seperti ini adalah bagian dari dinamika itu. Mereka adalah pengingat bahwa, meskipun ruang untuk protes semakin menyempit, rakyat Indonesia masih memiliki suara dan keberanian untuk menggunakannya.

Dan suara itu, meskipun tidak selalu langsung mempengaruhi kebijakan, tetap memiliki kekuatan untuk mengguncang status quo.

Artikel dari Carnegie Endowment memberikan gambaran yang suram tentang masa depan ruang sipil di Indonesia, tetapi tidak berarti harapan hilang.

Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh The Diplomat, protes adalah bagian dari perjalanan panjang menuju reformasi.

Ini bukan tentang kemenangan instan, tetapi tentang terus-menerus menuntut perubahan dan mempertahankan prinsip-prinsip demokrasi.

Dalam konteks ini, demonstrasi menolak revisi UU Pilkada adalah lebih dari sekadar reaksi sesaat; ini adalah pernyataan dan harapan rakyat tentang masa depan demokrasi di Indonesia.

Referensi: 

  • Hamid, U., & Hermawan, A. (2020). Indonesia’s shrinking civic space for protests and digital activism. Carnegie Endowment for International Peace. https:  //carnegieendowment.  org/2020/11/17/indonesia-s-shrinking-civic-space-for-protests-and-digital-activism-pub-83250 
  • In the midst of protest, hopes of reform in Indonesia. (2022). The Diplomat. https:  //thediplomat.  com/2022/10/in-the-midst-of-protest-hopes-of-reform-in-indonesia/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun