Bayangkan sejenak: Pak Harto, dengan senyum khasnya yang hangat namun misterius, mengunggah foto selfie di depan Taman Mini Indonesia Indah. Caption-nya berbunyi: "Membangun negeri satu miniatur kebudayaan sekaligus. #OrdeBaru #PembangunanNasional". Komentar-komentar bermunculan, dari pujian hingga kritik pedas, semua format emoji akan muncul disertai semua istilah gaul. Menyala presidenkuu.
Apakah imajinasi ini absurd? Memang. Tapi mungkin itu jadinya kalau sejarah Orde Baru kita bungkus dalam kemasan media sosial abad 21.
Era 80-an di Indonesia adalah rentang waktu dengan keunikannya sendiri. Di satu sisi, kita bisa melihat pembangunan besar-besaran dan stabilitas politik yang (katanya) menjanjikan. Di sisi lain, ada pengekangan kebebasan berpendapat yang dikemas rapi dalam slogan-slogan pembangunan.
Bayangkan saja jika semua itu terjadi di era Instagram dan TikTok. Mungkin kita akan melihat thread Twitter tentang swasembada beras yang diakhiri dengan hashtag #PanganUntukRakyat, atau mungkin unggahan Instagram Story tentang keberhasilan program Keluarga Berencana dengan filter "2 Anak Cukup".
Tapi tunggu dulu, sebelum terlalu jauh bernostalgia, mari kita kembali ke hal yang memicu imajinasi ini.
Saya, sebagai seorang ayah dari empat anak, pernah mengalami momen yang cukup menarik. Suatu malam, saat makan malam keluarga yang biasanya hanya diisi dengan suara sendok dan pertanyaan "Bagaimana sekolahnya hari ini?", tiba-tiba anak kedua saya bertanya, "Pak, gimana sih rasanya hidup di jaman Pak Harto?"
Saya terdiam sejenak. Bukan karena takut menjawab (hey, ini bukan tahun 80-an lagi), tapi karena bingung harus mulai dari mana. Akhirnya, daripada ceramah panjang lebar, saya malah buka YouTube dan menunjukkan video-video dokumenter tentang era Orde Baru.
Dari situ, pertanyaan tambah mengalir. Anak-anak saya, dengan akses informasi yang jauh lebih luas dari yang saya miliki di usia mereka, mulai membandingkan apa yang mereka lihat di video dengan apa yang mereka tahu dari sumber lain.
Momen ini membuat saya sadar: generasi muda sekarang punya cara yang sangat berbeda dalam memahami sejarah.
Mereka tidak hanya menerima satu narasi, tapi bisa mengakses berbagai sudut pandang dengan sekali klik.
Bayangkan jika di era 80-an kita punya akses seperti ini. Mungkin unggahan Instagram Soeharto tentang Petrus (Penembakan Misterius) akan dibalas dengan thread panjang tentang HAM, atau Vlog jalan-jalan ke tambang Freeport akan dihujani komentar tentang eksploitasi sumber daya alam.
Yang bikin ironis, di era di mana informasi begitu melimpah, kita justru sering terjebak dalam echo chamber kita sendiri. Kita lebih suka memfollow akun-akun yang sepaham, kita lebih pilih membaca artikel-artikel yang mendukung opini kita, dan akhirnya lupa bahwa sejarah itu kompleks. Tidak hitam putih seperti filter Instagram.
Jadi, apa yang bisa kita pelajari dari imajinasi liar "Soeharto di era Instagram" ini?Â
Pertama, kita perlu lebih kritis dalam menyikapi informasi.Â
Kedua, kita perlu menyadari bahwa sejarah itu multidimensi. Setiap peristiwa ada banyak sudut pandang. Dan yang paling penting, kita perlu ingat bahwa di balik angka-angka pertumbuhan ekonomi dan foto-foto pembangunan, selalu ada kisah-kisah manusia yang tidak selalu bisa ditangkap dalam 280 karakter atau satu unggahan Instagram.
Pada akhirnya, memahami sejarah bukan tentang siapa yang paling viral atau punya follower terbanyak. Ini tentang bagaimana kita bisa belajar dari masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik.
Jadi, lain kali jika Anda buka sosmed dan menemukan konten tentang kehebatan atau kebusukan Orde Baru. Ingatlah: peristiwa sejarah itu lebih rumit dari sekadar standar subjektif kita.Â
Satu hal yang lebih pasti adalah, setidaknya sekarang kita bebas berdiskusi soal isu ysng kontroversial tanpa takut diculik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H